Oleh: Sugiyanto (SGY)-Emik
(Aktivis senior Jakarta)
Dalam suatu kesempatan saat bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012, Dr. Ing. Fauzi Bowo, yang akrab disapa Bang Foke, saya menyampaikan harapan agar beliau tidak terlalu sering bepergian ke luar negeri. Sebab, Jakarta masih sangat membutuhkan pemikiran dan pengalamannya.
Saya bahkan mengusulkan agar Bang Foke lebih sering berdiskusi dengan para aktivis dan tokoh masyarakat Jakarta, khususnya dengan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Usulan tersebut disambut baik oleh beliau, dan Bang Foke menyatakan kesiapannya untuk mengagendakan pertemuan-pertemuan di masa mendatang.
Pada kesempatan lain, saya sempat berbicara dengan Bang Foke melalui sambungan telepon. Pembicaraan tersebut kemudian berlanjut dalam pertemuan langsung pada hari Selasa, 17 Juni 2025, di kediaman beliau yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Saat saya tiba, Bang Foke menyambut dengan ramah dan hangat. Ia mengenakan kemeja putih berlengan pendek dengan garis hitam di tepi lengan, serta mengenakan cincin bermata batu hijau daun yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Kacamata hitam dengan bingkai tegas tampak melekat di wajahnya, menambah kesan elegan namun bersahaja.
Meski usianya tidak lagi muda, wajahnya terlihat segar dan penuh semangat. Energi serta ketajaman pikirannya tetap terjaga, seperti seorang arsitek kota yang masih aktif memikirkan masa depan Jakarta. Di atas meja bundar, tersaji kopi, teh panas, dan pisang goreng dari pisang raja yang manis dan legit. Semua hal ini menyempurnakan suasana hangat diskusi kami pada sore itu.
Dalam perbincangan intens selama hampir tiga jam tersebut, kami membahas hampir seluruh isu penting yang berkaitan dengan Jakarta. Salah satu topik utama adalah tentang sistem pengendalian banjir, khususnya Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT).
Bang Foke menjelaskan bahwa BKB sesungguhnya merupakan proyek warisan zaman kolonial Belanda, dibangun pada tahun 1922 dengan tujuan utama mengalihkan aliran Sungai Ciliwung agar tidak membelah kota Batavia (Jakarta tempo dulu), melainkan dialirkan ke barat kota.
Pada era Orde Baru, konsep ini dikembangkan kembali melalui Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta tahun 1973, yang memperkenalkan konsep dua kanal besar yang mengelilingi Jakarta—yakni BKB dan BKT.
Kanal Banjir Timur sendiri dibangun jauh setelah Kanal Banjir Barat. Pembangunan BKT dimulai pada awal November 2003, setelah dicanangkan oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada Juli 2003. Proyek ini merupakan upaya untuk mengatasi masalah banjir di wilayah Jakarta Timur dan sebagian Jakarta Utara.
Pembangunan kanal tersebut dimulai pada tahun 2003 dan rampung pada tahun 2010, tepat pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo (Bang Foke). Kanal ini berfungsi menyalurkan air dari kawasan selatan Jakarta menuju laut di bagian utara, sekaligus meminimalkan potensi banjir yang kerap melanda kawasan padat penduduk.
Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan banjir di Jakarta, pemerintah membangun Sodetan Ciliwung yang telah resmi rampung pada Juli 2023.
Fungsi utama sodetan Ciliwung adalah untuk mengurangi risiko banjir di wilayah hilir Sungai Ciliwung yang mengalir menuju Banjir Kanal Barat (BKB), khususnya di kawasan Manggarai dan Kampung Melayu. Sodetan Ciliwung bekerja dengan cara mengalihkan sebagian aliran air dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT), sehingga mengurangi beban air di sungai utama dan mencegah terjadinya luapan.
Masalah banjir tidak dapat diselesaikan hanya dengan pembangunan kanal. Dalam diskusi tersebut, kami juga membahas berbagai persoalan lainnya.
Topik yang kami bahas mencakup permasalahan topografi Jakarta, penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, pembangunan folder-folder air, kenaikan permukaan air laut, sedimentasi sungai, pantai, dan pelabuhan, aliran 13 sungai serta berbagai faktor lainnya.
Selain itu, kami juga membahas salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digagas oleh pemerintah pusat, yaitu Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa.
Khusus mengenai gagasan pembangunan Giant Sea Wall atau GSW, hal ini kembali ditegaskan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya pada acara International Conference on Infrastructure (ICI) yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, pada Kamis, 12 Juni 2025. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menekankan pentingnya pembangunan GSW sebagai bagian integral dari upaya menyeluruh untuk mengatasi ancaman banjir rob dan kenaikan permukaan air laut di wilayah pesisir Jakarta.
Program GSW ini memiliki arti strategis, tidak hanya sebagai upaya perlindungan pesisir dari ancaman rob dan naiknya permukaan air laut, tetapi juga sebagai potensi sumber penyediaan air baku bagi Jakarta.
Saat ini, sumber air baku utama Jakarta berasal dari Waduk Jatiluhur yang terletak di Purwakarta, Jawa Barat. Waduk ini merupakan sumber utama yang menyumbang sekitar 80 persen dari total pasokan air baku PAM JAYA. Air tersebut menempuh perjalanan sepanjang 72 kilometer melalui Kanal Tarum Barat menuju Jakarta.
Mengingat kompleksitas dan dampaknya yang besar, saya berencana menulis artikel tersendiri mengenai Giant Sea Wall. Isu ini membutuhkan analisis kebijakan, kajian teknis, serta pembahasan multidisipliner yang mendalam. Penjelasan Bang Foke dalam diskusi kami menjadi referensi penting yang layak dijadikan dasar rujukan dalam memahami dan menanggapi persoalan ini secara komprehensif.
Namun, satu hal yang pasti: mantan Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman ini menegaskan pentingnya dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan seluruh lapisan masyarakat terhadap program ini. Tanpa kolaborasi yang solid, mustahil proyek sebesar GSW dapat berhasil secara optimal.
Dalam konteks ini, menurut pandangan saya, yang paling penting adalah memastikan bahwa sebagai program prioritas nasional di era Presiden Prabowo, tidak boleh ada pihak mana pun yang menghambat pelaksanaannya hingga menyebabkan stagnasi.
Atas dasar hal tersebut, saya berpendapat bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) Giant Sea Wall yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto harus direalisasikan sesuai dengan harapan dan perencanaan yang telah ditetapkan. Keterlibatan aktif pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD, masyarakat, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya merupakan faktor penentu keberhasilan program ini.
Selain itu, terdapat satu faktor penting lainnya, yaitu dukungan dari sektor swasta. Keterlibatan pihak-pihak nonpemerintah atau swasta berpotensi menjadi sumber pendanaan alternatif yang signifikan untuk mendukung pembangunan proyek GSW secara berkelanjutan.
Diskusi kami juga mencakup banyak isu lain yang tak kalah penting, seperti pengembangan MRT Jakarta, pemanfaatan obligasi daerah untuk pembiayaan pembangunan, pengelolaan Jakarta International Stadium (JIS), kemacetan, samapah, revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), pengembangan kawasan Kota Tua, hingga penguatan lembaga-lembaga pendidikan seni seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan banyak lagi hal lainnya.
Semua persoalan tersebut dijelaskan oleh Bang Foke dengan sudut pandang seorang insinyur tata kota lulusan Jerman. Dalam konteks ini, sudah menjadi pemahaman umum bahwa Bang Foke adalah sosok yang sangat menguasai kerangka perencanaan, pelaksanaan, hingga dinamika sosial-politik dalam pembangunan sebuah kota besar seperti Jakarta.
Menariknya, Bang Foke juga mengajak saya meninjau kembali perbandingan antara Jakarta dan sejumlah kota besar dunia lainnya, seperti Berlin, Singapura, dan Tokyo serta lainnya. Ia menekankan pentingnya Jakarta mengacu atau memiliki cetak biru pembangunan jangka panjang yang konsisten dan tidak mudah berubah setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan.
Pandangan tersebut sangat relevan dengan target Gubernur Pramono yang ingin menjadikan Jakarta sebagai salah satu dari 50 kota global terkemuka di dunia. Terkait dengan pembangunan tanggul laut raksasa, Bang Foke menjelaskan bahwa seluruh negara di dunia akan merujuk pada hasil teknologi dari Negeri Kincir Angin, Belanda.
Tak lupa, kami juga menyinggung isu penting lainnya, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok dalam konteks keberadaan dan peran strategis Giant Sea Wall atau GSW. Isu ini sangat relevan karena menyangkut kesinambungan fungsi pelabuhan terbesar di Indonesia dalam sistem logistik nasional maupun regional. Dalam kerangka GSW, konsep pengembangan pelabuhan tetap memberikan peluang bisnis yang luas, tanpa mengganggu operasional yang sudah ada, karena seluruh aktivitas masih berada dalam satu kawasan Pelabuhan yang sama.
Keseluruhan diskusi selama tiga jam ini berlangsung padat, sarat data, dan dipenuhi gagasan-gagasan solutif. Mengingat banyaknya topik yang dibahas serta urgensinya bagi masa depan Jakarta, saya merasa perlu menuangkannya dalam beberapa tulisan bersambung. Dalam waktu dekat, saya akan menguraikan satu per satu tema penting tersebut secara lebih rinci demi kepentingan masyarakat Jakarta, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
Jakarta, 18 Juni 2025
Wassalam.