Kronologi, Jakarta – Manager Riset dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi, mengaku heran dengan kinerja saham
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, yang terpantau tetap tetap loyo, di level Rp2.810, pada hari ini Rabu (28/5/2025), pukul 16.14 WIB.
Padahal, Selasa kemarin, PT Telkom telah menyelesaikan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Tahun Buku 2024, dengan menunjuk mantan bos XL, Dian Siswarini, menjadi Direktur Utama (Dirut), menggantikan Ririek Adriansyah dan Wakil Menteri Komdigi Angga Raka Prabowo menjadi Komisaris Utama (Komut) mengganti Bambang Brodjonegoro yang mengundurkan diri.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan saham telkom tetap anjlok, misalnya pergantian Dirut dan Komut belum tentu dianggap sebagai katalis baru oleh investor, terutama jika penggantinya masih berasal dari lingkaran birokrasi/BUMN dan bukan figur pasar atau profesional industri digital yang visioner, ” kata Badi saat dihubungi Kronologi.id, Rabu (28/5/2025).
Selain itu, lanjut Badi, pasar bisa juga kemungkinan tidak melihat Telkom menuju arah strategi yang jelas. Hal ini menyebabkan investor pun kurang tertarik berinvestasi.
“Bisa juga pasar melihatnya sebagai reshuffle kosmetik tanpa arah strategis baru yang jelas, maka ekspektasi perbaikan kinerja ke depan juga tetap rendah. Sehingga investor tidak teratrik untuk berinvestasi di Telkom,” ucapnya.
Menurut Badi, investor besar (terutama institusi) memperhatikan struktur manajemen secara keseluruhan. Apabila sebagian besar jajaran direksi lama masih berjaya, maka bisa muncul asumsi bahwa status quo akan berlanjut, sehingga potensi perubahan besar pun diragukan.
Disisi lain, Badi mengakui bahwa Telkom memang masih mencetak profit. Namun, pertumbuhan di sektor digital (anak usaha seperti Telkomsel, Mitratel, dan IndiHome) belum eksplosif.
Pasar juga menunggu update besar soal inovasi, konsolidasi digital, IPO anak usaha seperti Telkomsel atau Data Center, dan belum mendapat sinyal konkret dalam RUPTS.
Terkait Telkom melakukan buyback atau membeli kembali saham perseroan senilai Rp 3 triliun dividen jumbo Rp21 triliun, sebagai upaya mengirim sinyal besar ke pasar dan investor ritel sebaiknya tidak mengabaikannya, Badi menilai, justru itu sinyal bahwa manajemen merasa saham undervalued. Oleh karenanya, jika jika tidak dibarengi fundamental dan rencana transformasi yang kuat, pasar bisa menganggapnya sekadar manuver jangka pendek.
“Nilainya Rp3 triliun relatif kecil dibanding kapitalisasi pasar TLKM yang mencapai Rp300 triliun. Sehingga efek langsung terhadap harga saham cenderung terbatas,” tuturnya.
Faktor teknis lainnya yang kemungkinan berkontribusi, pada Telkom adalah saham big cap dan memiliki basis investor institusi yang besar. Pergerakan harga cenderung tidak volatil kecuali ada katalis kuat.
Menurut Badi, saat ini juga belum ada trigger eksternal seperti penguatan sentimen sektor telekomunikasi secara regional atau pengumuman kerja sama strategis global.
“Hal yang perlu dilakukan adalah percepat langkah strategis digitalisasi dan konsolidasi anak usaha. Tunjukkan arah baru yg lebih agresif dan kompetitif, misalnya IPO Data Center atau kolaborasi global. Dan perkuat komunikasi ke pasar, tidak cukup hanya dengan aksi korporasi formal. Narasi penting,” tukasnya.
Penulis: Nando