Kronologi, Jakarta – PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk belum lama ini merilis laporan/kinerja keuangan Q1 atau kuartal I-2025, yang secara kasat mata tampak impresif.
Berdasarkan rilisnya, Telkom membukukan pendapatan konsolidasi sebesar Rp. 36,6 triliun, EBITDA (Laba sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi, dan Amortisasi) sebesar Rp18,2 triliun dengan margin 49,8%. Telkom juga mencatat laba bersih sebesar Rp5,8 triliun (margin 15,9%).
“Ironinya di lantai saham justru stagnan di level Rp2.600, bahkan dalam beberapa hari terakhir hanya bergerak tipis, nyaris tanpa gairah,” kata Manager Riset dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi dalam keterangannya, Minggu, 11 Mei 2025.
Badi menilai, jika tidak cermat memperhatikan laporan kuartal 1- 2025 itu, tampak seperti sehat-sehat saja kinerja keuangan Telkom, bila dibanding dengan periode yang sama tahun 2024.
Pada kuartal pertama 2024, Telkom membukukan pendapatan konsolidasi sebesar Rp37,4 triliun, EBITDA tercatat Rp19,4 triliun dengan margin kisaran 51,9%. Kemudian, laba bersih operasi perseroan sebesar Rp6,3 triliun (margin 16,9%)
“Sekilas memang sehat, jika dibandingkan dengan periode yg sama pada tahun sebelumnya (2024) laporan keuangan Telkom. Tapi kecenderungannya (Kuartal I-2025) justru menurun, dari sisi pendapatan turun 2,1%, EBITDA turun 6,1% dan Laba Bersih turun 4%,” ungkapnya.
Karena itu, tegas Badi, kecenderungan menurun ini tidak bisa ditutupi dan ini menjadi perhatian pasar modal. Penurun ini juga akan berdampak pada kepercayaan pasar.
“Meski jumlah besar, arah trennya turun. Pasar modal tidak hanya melihat angka absolut tetapi juga momentum pertumbuhan. Jika pertumbuhan cenderung menurun, maka ini berdampak pada kepercayaan dan kekhawatiran pasar,” tegas dia.
Disisi lain, Badi menganggap, apabila dicermati secara seksama, secara valuasi saham Telkom sebenarnya cukup menarik. Dimana dengan EV/EBITDA sekitar 3,8x atau dibawah rata-rata historis 5 tahun sekitar 5,2x untuk tahun fiskal Maret 2020 hingga 2024.
“Pada posisi ini telkom bisa dibilang murah. Sayangnya ini justru mendapat respon dingin di pasar,” paparnya.
Menurut Badi, faktor yang kemungkinan mempengaruhi diantaranya, investor tidak melihat prospek pertumbuhan signifikan di waktu dekat, sentimen terhadap sektor telekomunikasi juga sedang lesu, terkhusus BUMN. Dan yang tidak kalah penting, investor melihat ada ketidakpastian terkait arah bisnis dan kepemimpinan direksi Telkom.
“Publik tahu selama ini tidak ada perubahan signifikan pada struktur organisasi Telkom,” ujarnya
Kemudian, Badi juga menyoroti transparansi laporan pelanggan IndiHome residensial (B2C) sebesar 9,8 juta pelanggan oleh Telkom. Sedangkan total keseluruhan pelanggan IndiHome B2C dan B2B juga menjadi 11 juta pelanggan. Namun, yang menjadi pertanyaan, Telkom tidak merilis jumlah pelanggan Indihome yang berhenti berlangganan.
Sebab, masyarakat tidak pernah tahu berapa total keseluruhan angka pelanggan Indihome (B2B dan B2C) sebenarnya, termasuk yang berhenti berlangganan. Publik hanya disuguhkan kenaikan angka pelanggan tanpa diberitahukan jumlah pelanggan yang berhenti berlangganan.
“Misalnya, transparansi data pelanggan indihome yang mencapai 9,8 juta pelanggan residensial (B2C) dan 11 juta B2B. Namun tidak ada informasi soal churn rate atau berapa banyak pelanggan yang berhenti berlangganan. Ini menyulitkan publik untuk menilai loyalitas pelanggan dan kualitas layanan,” ungkap dia.
Belum lagi, Telkom dengan bangganya melaporkan, hingga Maret 2025, jumlah Base Transceiver Station (BTS) yang dimiliki mencapai 278.100 unit, termasuk 227.454 BTS 4G dan 1.910 BTS 5G. Namun, Telkom tampak tak melaporkan jumlah unit BTS yang berhenti beroperasi; akibat rusak, dibongkar, roboh, dll. Publik juga ingin laporan tersebut.
Sehingga bukan hanya laporan jumlah keseluruhan yang ada secara umum, maupun yang baru dibangun, tapi bagaimana dengan jumlah BTS yang tidak berfungsi lagi.
“Tidak ada data (laporan BTS Telkom) berapa banyak yang non-active atau down. Akuntabilitas dalam pembangunan infrastruktur seharusnya tidak berhenti di angka, tapi juga dalam fungsi,” tuturnya .
Oleh sebab itu, ungkap Badi, kinerja keuangan semestinya dilaporkan secara komprehensif, bukan sekedar nilai fantastis saja yang disuguhkan ke publik. Dia mengingatkan negara telah memberi kemudahan pada Telkom, baik melalui regulasi, penyertaan modal negara (PMN), dan lain sebagainya.
“Transparansi, laporan keuangan harus diimbangi dg data operasional. Tanpa transparansi ini, laporan kinerja hny menggambarkan separuh kenyataan dan menyulitkan pasar menilai efisiensi dan efektivitas perusahaan,” tandasnya.
Penulis: Nando