Oleh: Ch. H. Situmorang
(Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS)
Puluhan Kampus Negeri dan Swasta, para Guru Besarnya beramai-ramai menyatakan sikap dan pendapatnya atas Cawe-Cawe Presiden Jokowi dalam Pemilu 14 Februari 2024 yang tinggal hitungan hari. Jokowi tegas mengatakan bahwa Presiden boleh melakukan kampanye. Artinya tidak netral.
Kita masih ingat, pernyataan Jokowi di forum Rapat Kerja Nasional KPU, KPUD, dan Bawaslu tahun lalu, bahwa ASN, Polri dan TNI Penyelenggara Negara harus netral.
Mungkin apa karena lupa, atau ada kepentingan lain, agar anaknya Gibran yang jadi Calon Wapres Paslon Nomor 2, ada gejala tidak akan dapat lolos putaran 1, maka syahwat kekuasaan memuncak menabrak etika dan kepantasan seorang Kepala Negara. Unjuk rasa kekuasaan ditandai dengan pernyatan Cawe-Cawe untuk ikut kampanye di pangkalan udara Halim Perdanakusuma, didampingi Panglima TNI dan Kapolri dan Prabowo Capres Paslon Nomor 2.
Masyarakat sudah resah, para mahasiswa sudah teriak, sejak Gibran ditabalkan Majalah Tempo sebagai “Anak Haram Konstitusi”, dan beberapa hari lalu Ketua KPU mendapat sanksi etik berat dan terancam jika melakukan kesalahan lagi akan dipecat sebagai Ketua KPU oleh DKPP. Netizen menyebutkan Gibran “Anak Haram KPU” Masya Allah sungguh tragedi ketatanegaraan yang tidak pernah terjadi sejak Republik Indonesia berdiri.
Peringatan pertama kali disampaikan oleh puluhan Guru Besar UGM yang dibacakan Prof. Koentjoro. UGM merupakan almamater Jokowi, dan dua Calon Presiden. Sikap yang sama diikuti Guru Besar UII, UI, UNHAS, berbagai Perguruan Tinggi Utama Negeri dan Swasta.
Kegelisan para Guru Besar ini direspon oleh mahasiswa dari masing-masing kampus yang juga dengan semangat yang sama mendapatkan energi luar biasa dari para Guru Besarnya. Mahasiswa sudah mulai memobilisasi kampus untuk protes ke Istana. Waktu tinggal beberapa hari lagi Pemilu, apakah ada perubahan sikap dan kebijakan dari Istana, masyarakat menunggu dengan kegelisahan yang mendalam.
Apakah Suara Guru Besar didengar?
Masih segar diingatan kita tahun lalu ketika RUU Obl Kesehatan diprotes oleh 100 lebih Guru Besar Kedokteran, dan non kedokteran, bahkan ada Guru Besar sampai menitikkan air mata, apakah didengar oleh Istana dan DPR. Ternyata, pihak Istana dan DPR RI, tidak peduli, tidak mendengar. Mereka tidak peka, tetapi menjadi pekak alias budeg. Akhirnya RUU Obl kesehatan melenggang mulus, menjadi UU Nomor. 17/2023.
Kita mencermati, bahwa tidak ada tanda-tanda Istana mendengar “teriakan” Guru Besar yang cukup masif dibanyak kampus. Para Guru Besar sebagai penjaga Etika Bangsa, gelisah dan khawatir jika Presiden Jokowi tidak merubah kebijakannya. Potensi “Chaos” adalah kondisi yang akan terjadi walaupun tidak ada yang menghendaki. Konflik vertikal dan horizontal, bisa menyebabkan bangsa ini porak poranda.
Presiden Jokowi dengan tenang mengatakan pernyataan sikap para Guru Besar itu adalah hal yang biasa dalam suatu negara demokrasi. Tetapi pernyataan Staf Khusus Istana mengatakan bahwa pernyataan para Guru Besar itu tidak terlepas kepentingan elektoral dan itu biasa. Akhirnya rame lagi di media cetak dan elektronik kemarahan Guru Besar atas ungkapan staf khusus Istana. Rasanya di Istana itu sudah tidak peduli dan terkesan mengabaikannya karena kepentingan politik tertentu.
Malapetaka Politik Dinasti
Pangkal penyebab kegaduhan kehidupan politik dan ketatanegaraan bangsa ini adalah adanya keinginan Istana untuk menerapkan dinasti politik dengan menggunakan casing demokrasi.
Gerakan ilegal itu, sudah terlihat gejala awal penyakit untuk kekuasaan bertahan 3 periode. Gatot alias gagal total, di tawar menjadi perpanjangan masa kerja presiden 2 tahun. Gatot lagi.
Anti klimaks nya mengajukan Gibran ( anak sulung Presiden Jokowi) menjadi Cawapres yang digandeng Prabowo Subianto, senior Capres, menggendong Gibran sebagai wakilnya. Apa kepentingannya, sudah sangat jelas dan terang mendapatkan dukungan kekuasaan yagng sedang dikendalikan Jokowi. Prabowo punya pengalaman pahit kalah Capres, karena yang dihadapi alat kekuasaan negara yang dikuasai Presiden Jokowi.
Fenomena yang jarang terjadi dalam ketatanegaraan negara demokratis, dimana Presiden dan saingan yang dikalahkan, bergandengan tangan menenteng anak Presiden sebagai Calon Wapres, menghadapi 2 Paslon Presiden lainnya. Begitu indahnya demokrasi ala Indonesia. Demokrasi terasa kerajaan.
Sekarang ini, sudah tidak ada lagi masukan lapisan masyarakat yang didengar Presiden Jokowi. Hatinya sudah tertutup untuk menerima masukan. Mungkin Allah yang sudah menutup hatinya. Sekarang ini kita tinggal menunggu rencana Allah selanjutnya. Allah SWT, pasti mendengar suara hati rakyatnya yang sudah terluka dengan caranya sendiri yang siapapun makhluknya tidak akan berdaya melawannya.
Cibubur, 8 Februari 2024