Oleh: Hikam Hulwanullah
(Master of Law at Melbourne Law School, Australia)
Belum habis kontroversi politisasi Bantuan Sosial (Bansos) oleh Menteri Perdagangan RI, dan tagar salah satu paslon di akun media sosial resmi milik Kementerian Pertahanan RI. Terbitlah polemik baru, video singkat yang menunjukan simbol dua jari dari dalam mobil kepresidenan dan statement keberpihakan Presiden terhadap salah satu paslon yang menyingggung netralitas. Tidak heran jika banyak kita jumpai pejabat negara aktif di tingkat nasional hingga daerah ikut andil mendukung suksesi politik secara terang-terangan terhadap paslon tertentu dalam Pemilu 2024. Bahkan beberapa kandidat pasangan calon juga tidak malu-malu masih berstatus sebagai pejabat pemerintahan. Sistem seperti ini disadari atau tidak dapat mencederai netralitasnya institusi pemerintahan dimana para pejabat di dalamnya digaji dengan pajak negara yang bersumber dari masyarakat.
Terlepas dari ketentuan Pasal 302 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur pemberian kesempatan cuti dalam hal rangkap aktivitas sebagai anggota tim kampanye dan/atau sebagai pelaksana kampanye. Sejatinya pemberian cuti ini tidak dapat menyelesaikan masalah netralitas secara sepele, hal ini justru membuka tabir masalah dan kotak pandora conflict of interest. Pemandangan ini adalah pemandangan tidak elok yang berkonsekuensi pada degradasi etis, apalagi ditinjau dari berbagai perspektif seperti perspektif Marxisme, dimana penguasa merupakan bagian dari kelas dominan yang memiliki kendali atas alat produksi. Tentu saja hak memilih tidak bisa menjadi dalil khusus bolehnya Presiden sebagai sebuah simbol negara berpihak pada salah satu paslon seperti hak Lese Majeste (hak khusus perlindungan dari hinaan) untuk keluarga kerajaan Thailand. Seirama dengan pasal 282–283 UU Pemilu, pejabat negara sebenarnya dilarang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu serta mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan peserta pemilu.
Di sisi lain, ada hal menggelitik dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang ini mengekang ASN untuk patuh terhadap asas netralitas, mereka dilarang terlibat aktivitas kampanye dalam bentuk apapun, bahkan berpose foto sekalipun ASN diteror dengan sanksi disiplin hingga pidana jika menunjukan simbol angka yang menjerumus pada salah satu nomor paslon peserta pemilu. Padahal pada peraturan yang sama dijelaskan pula bahwa Presiden, Menteri, Kepala Daerah tingkat Kota dan Provinsi bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi juga merupakan pegawai ASN yang menjabat sebagai pejabat negara. Paradoks ini terkesan tidak mempertontonkan kesetaraan di depan hukum, justru peraturan ini memperlihatkan penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah.
Di berbagai negara, dalam rangka profesionalisme, conflict of interest diatur sedemikan rupa dalam peraturan baik itu di tingkat nasional maupun federal. Seperti di Amerika, dengan Hatch Act-nya tahun 1939 yang membatasi pejabat pemerintah terlibat dalam aktivitas politik. Pejabat pemerintah dibatasi/tidak diizinkan untuk terlibat aktif sebagai partisan dalam aktivitas politik terkait kampanye pemilihan umum federal. Mereka dilarang secara terbuka mendukung atau menentang kandidat tertentu, serta aktivitas politik lainnya dalam jam kerja. Sanksi yang diberikan juga tidak main-main seperti sanksi administrasi, pemecatan bahkan jika diperlukan sanksi pidana yang dapat dirujuk ke Departemen Kehakiman.
Di Inggris, belum ada aturan rigid tentang pembatasan ini. Namun, pejabat pemerintah di sana sangat menjunjung integritas, salah satunya melalui Civil Service Code, dimana kepatuhan terhadap hukum, netralitas politik, dan integritas sangat berlaku bagi Pejabat Pemerintah. Tidak heran, jika ada pejabat pemerintahan yang melanggar kode etik ini, dengan sendirinya akan melakukan pengunduran diri atau diberhentikan. Seperti kasus mundurnya Priti Patel, Menteri Dalam Negeri Inggris pada Februari 2021, dia diberhentikan oleh Perdana Menteri Boris Johnson karena terlibat dalam aktivitas kampanye dan kontak dengan pemerintah asing secara tidak resmi.
Melihat berbagai polemik netralitas hari ini yang merebak, seperti mengulang beberapa kasus yang sempat terjadi di beberapa negara. Sebut saja kasus Watergate di Amerika Serikat tahun 1972-1974, adalah peristiwa impeachment Presiden Richard Nixon yang diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan selama kampanye pemilihan presiden 1972 dan berakhir dengan pengunduran diri sebelum pemakzulan dilakukan, serta kasus fenomenal Dilma Rousseff di Brasil tahun 2016 dimana Rousseff dipecat sebagai presiden oleh senat akibat melakukan manipulasi keuangan selama kampanye pemilihan presiden 2014. Pertanyaannya apakah hal ini akan terjadi di Indonesia?
Harapannya pemilu berjalan dengan lancar, masyarakat bisa hidup berlanjut dengan tenang, dan para pemiliki kepentingan dapat menahan diri untuk tidak menerabas batas-batas hukum serta kewenangan, sebab hari ini netralitas menjadi hal yang mewah, integritas menjadi hal yang langka, dan etika menjadi hal yang mahal. Generasi emas yang dibanggakan di 100 tahun Indonesia nanti lahir dari cerminan proses pembelajaran luar biasa saat ini. Semoga proses pendidikan politik menjadi saduran pengalaman baru untuk bekal mendidik generasi muda ke depan.
___
*Hikam Hulwanullah merupakan lulusan program Master of Law, the University of Melbourne, Australia, 2023, yang sedang mempersiapkan program Ph.D. in Law di Oxford University, Inggris, 2024.