Oleh: Yudi Latif
(Aktivis dan cendikiawan)
Saudaraku, kekuasaan itu laksana obat bius yang bisa melupakan kesadaran dan rasa malu seseorang. Rutger Bregman menjelaskan hal ini dengan sangat menarik dalam buku “Humankind: A Hopeful History” (2020).
Jika kita ingin melukiskan perangai kekuasaan, ada satu nama yang tak bisa terhindarkan: Machiavelli. Dalam buku termasyhurnya, “Il Principe” (The Prince) beliau menekankan bahwa jika ingin kekuasaan, maka kamu harus merebutnya. Kamu harus tak tahu malu, tak terkekang oleh prinsip atau moral. Tujuan membenarkan cara. Dan jika kamu tidak menjaganya sendiri, orang lain akan merebutnya. Menurut Machiavelli, “Dapat dikatakan bahwa manusia pada umumnya tak tahu berterima kasih, plin-plan, suka menyembunyikan diri, munafik, pengecut, dan serakah. Jika seseorang menunjukkan kebaikannya padamu, jangan mudah terkecoh: itu hanyalah sebuah kepalsuan, karena manusia tak pernah melakukan apa pun yang baik kecuali karena kebutuhan.”
Professor Dacher Keltner, seorang ahli ternama dalam penerapan Machiavellianisme, merasa penasaran untuk menguji kebenaran tesis Machiavelli tersebut. Hasilnya? Tak sesuai harapan.
Berdasarkan hasil studi eksperimennya, Keltner menyimpulkan bahwa individu-individu yang bangkit ke posisi kekuasaan pada umumnya mereka yang paling ramah dan paling berempati. Ini sejalan dengan kaidah emas tentang daya sintas mereka yang paling bersahabat: the survival of the friendliests.
Kendati demikian, setelah mereka berkuasa wataknya cenderung berubah. Orang-orang berkuasa menampilkan kecenderungan yang serupa. Mereka benar-benar bertindak seperti orang yang mengalami kerusakan otak. Mereka bukan saja lebih impulsif, egois, ceroboh, dan sombong dan kasar ketimbang rata-rata, tetapi juga cenderung selingkuh dari pasangannya, kurang memperhatikan orang lain dan kurang tertarik pada sudut pandang orang lain. Mereka juga lebih tidak tahu malu, sering kali gagal
menampilkan fenomena wajah yang menjadikan manusia unik di antara primata. Manusia hanya sedikit di antara hewan dan satu-satunya di antara primata yang wajahnya bisa memerah, tersipu malu.
Selama ribuan tahun, rasa malu tersebut merupakan cara paling pasti untuk menjinakkan pemimpin, dan itu masih bisa berfungsi sampai sekarang. Rasa malu lebih efektif dibandingkan hukum dan peraturan atau kecaman dan paksaan, karena manusia
yang merasa malu bisa mengatur dirinya sendiri. Tatkala gagal memenuhi harapan rakyat, cara bicara penguasa akan terputus-putus, dan pipinya memerah saat menyadari bahwa mereka sedang menjadi bahan gunjingan (gosip).
Memang, rasa malu juga mempunyai sisi gelap (misalnya, rasa malu karena kemiskinan). Tapi coba bayangkan akan menjadi masyarakat seperti apa sekiranya rasa malu tidak ada lagi. Itu akan menjadi neraka.
Sayangnya, selalu ada orang yang tidak sanggup merasa malu, entah karena dibius oleh kekuasaan atau berada di antara minoritas kecil yang terlahir dengan ciri-ciri sosiopatologis. Orang-orang seperti itu tidak akan bertahan lama hidup di lingkungan suku-suku nomaden. Mereka akan diusir kelompoknya dan dibiarkan mati sendirian. Tapi, pada organisasi modern yang begitu luas, sosiopat tampaknya selangkah lebih maju dalam tangga karier. Studi menunjukkan bahwa antara 4 sampai 8 persen CEO terdiagnosis mengalami sosiopati, dibandingkan dengan 1 persen pada populasi umum.
Dalam demokrasi modern, sifat tak tahu malu bisa memberi keuntungan tersendiri. Politisi yang tidak terhalang oleh rasa malu
bebas melakukan hal-hal yang tak berani dilakukan orang lain. Anda boleh dikenal sebagai pemikir paling cemerlang di negara anda. Tapi, bisakah anda ketahuan bohong lantas menceritakannya kepada orang lain tanpa henti? Kebanyakan orang akan diliputi rasa malu–seperti kebanyakan orang membiarkan (sisa) makan terakhir di atas piring dalam perjamuan bersama. Tapi orang yang tak tahu malu tak bisa melewatkan kesempatan. Dan perilaku berani mereka membuahkan hasil di zaman “mediokrasi” (pemerintahan orang-orang semenjana) dan “mediakrasi” (pemerintahan media) dalam kehidupan modern saat ini, karena liputan berita dan viralitas lebih menyoroti hal-hal yg tidak normal dan tidak masuk akal.
Di dunia seperti ini, bukanlah pemimpin yang paling ramah dan berempati yang naik ke atas, tetapi kebalikannya. Saat ini, yang berjaya adalah mereka yg tak tahu malu: the survival of the shameless. (Edulatif, No. 41).