Kronologi, Jakarta – Dukungan Ijtima Ulama terhadap calon presiden dan wakil presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) bisa jadi salah satu pertaruhan politik paslon nomor urut satu ini di Pilpres 2024.
Peneliti dari Indikator Politik Bawono Kumoro menyebut dukungan tersebut bisa menjadi motor penggerak baru bagi pasangan AMIN yang elektabilitasnya selalu menduduki urutan buncit di berbagai hasil survei sejumlah lembaga.
Namu, dukungan Ijtima Ulama juga bisa berbalik merugikan jika tak dikelola dengan baik. Sebab kelompok-kelompok yang tergabung dalam Ijtima Ulama telah kadung lekat dengan citra politik identitas.
“Itu akan menjadi pertaruhan politik Anies dalam 85 hari depan hingga tanggal 14 Februari 2024,” ucap peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, Senin (20/11/2023).
Ijtima Ulama diinisiasi oleh sejumlah organisasi Islam yang pernah memenangkan Anies-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Mereka yakni, Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama, Persaudaraan Alumni 212, dan Front Persaudaraan Islam. Nama terakhir merupakan wujud lain dari Front Pembela Islam bekas pimpinan Habib Muhammad Rizieq Shihab.
Front Persaudaraan Islam dipimpin Habib Muhammad bin Husein Alatas, yang tak lain merupakan menantu Habib Rizieq.
“Capres dan cawapres yang direkomendasikan adalah yang tadi pagi datang yaitu pak Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar,” ujar anggota Steering Committe Ijtima Ulama Aziz Yanuar saat membacakan hasil Ijtima Ulama di Kompleks Majelis Az Zikra, Sentul, Bogor.
Anies yang didampingi Cak Imin sempat memberikan sambutan di pembukaan acara tersebut. Dia menyatakan ulama bukan musuh bagi negara. Menurut Anies, ulama adalah tempat meminta nasihat dan konsultasi dalam mengambil keputusan.
“Yang tidak kalah penting dari situ kita melihat bahwa alim ulama adalah mitra dari umara, bukan sebagai lawan apalagi musuh. Justru menjadi tempat kita mendapatkan nasihat,” kata dia.
Anies dan Kelompok 212
Bawono meyakini relasi Anies dengan sejumlah organisasi Islam konservatif seperti 212 sulit dilepaskan.
Relasi itu, menurut dia, semakin kuat setelah Prabowo Subianto, sebagai tokoh politik yang didukung Ijtima Ulama di Pilpres 2019, saat ini malah bergabung dengan barisan koalisi pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Peristiwa ini telah menghadirkan kekosongan figur politik di kalangan kelompok Islam konservatif seperti Ijtima Ulama.
Anies jadi salah satu tokoh yang bisa mengisi kekosongan tersebut mengingat hubungan mesra mereka saat Pilkada DKI 2017 silam.
“Karena itu masuk akal apabila saat ini kelompok-kelompok tersebut lebih dominan berada sebagai pendukung Anies Baswedan,” kata dia.
Namun, di lain sisi, menurut Bawono, relasi Anies dengan kelompok Islam konservatif juga tidak mudah.
Bawono menyebut dengan dukungan Ijtima Ulama, kubu AMIN harus bisa menyelaraskan dua kelompok Islam yang cukup bertolak belakang dalam tubuh mereka untuk bisa memaksimalkan keuntungan politik elektoral.
Aspirasi maupun manuver Ijtima Ulama harus bisa seiring sejalan dengan basis massa Islam pendukung PKB di bawah Cak Imin.
Bawono mengibaratkan pertemuan dua kelompok Islam ini sebagai proses kawin paksa. Menurut dia, dua kelompok itu dalam satu dekade terakhir merupakan kelompok yang terus berlawanan.
Bukan saja dalam kontestasi Pilpres, secara politis, mereka juga vis a vis dalam politik pemerintahan. Kelompok Islam tradisionalis yang mewakili basis massa PKB merupakan bagian dari koalisi pemerintah. Sikap keagamaan mereka juga cenderung moderat.
Sedangkan, kelompok Islam konservatif, mewakili massa Ijtima Ulama dan PKS, 10 tahun terakhir menjadi instrumen lain dari oposisi.
“Jelas memang bukan hal mudah membuat basis massa pemilih dari PKB dan pemilih Anies Baswedan bersinergi satu sama lain,” ucap Bawono.
Representasi Kelompok Islam
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia Ali Rif’an memandang dukungan kelompok 212 Cs memberi keuntungan kepada pasangan Anies-Cak Imin, mengingat dua kubu paslon capres-cawapres yang lain tak merepresentasikan kelompok Islam.
Namun, menurut Ali, kubu AMIN juga perlu mempertimbangkan kelompok 212 Cs yang kerap dikonotasikan negatif sebagai pemain politik identitas. Sebab, menurut dia, faktor itu justru bisa membuat sebagian pemilih NU sebagai basis PKB lari.
“Artinya, jika persepsi itu masih melekat, bukan tidak mungkin justru bisa membuat para pemilih islam tradisional (kelompok NU) sebagian akan lari,” kata Ali, Minggu (19/11/2023).
Ali menilai dukungan 212 Cs bahkan bisa bisa berpotensi menggerus suara kelompok nasionalis di kubu AMIN. Karenanya, menurut Ali, kubu AMIN perlu meyakinkan bahwa dukungan kelompok 212 Cs telah muncul dengan wajah baru. Bahwa mereka, misalnya, tak akan lagi memainkan politik identitas atau melakukan politisasi agama selama masa kampanye.
“Juga harus dipastikan bahwa tokoh2 yang ada dalam Ijtima Ulama bukan dari organisasi-organisasi terlarang. Ini penting karena kalau tidak, akan membuat para pemilih AMIN, khususnya pemilih Muhaimin Iskandar, akan lari,” ujarnya.
Editor: Alfian Risfil A