Oleh: Apriyanto Umar (Wakil Ketua II PMII Cabang Pohuwato)
Ketika rakyat di pelosok desa berjuang menghemat setiap tetes solar untuk mengangkut hasil panen, Pemerintah Daerah Pohuwato justru memarkirkan kebijakan efisiensi di pinggir jalan lalu melaju dengan mobil dinas baru yang nyaman, dingin, dan tentu saja, bergengsi.
Padahal, kita baru saja menyambut Inpres No. 1 Tahun 2025 yang secara terang benderang menginstruksikan agar belanja pemerintah daerah difokuskan pada hal-hal yang langsung menyentuh pelayanan dasar publik, bukan pada kemewahan birokrasi. Namun, rupanya efisiensi itu punya kasta. Ia berlaku untuk rakyat, tetapi bisa dinegosiasikan jika sudah menyangkut kursi empuk kekuasaan.
Atas nama “pejabat baru”, maka kendaraan pun harus baru. Seolah olah kualitas pelayanan publik bergantung pada jenis kendaraan yang dikendarai, bukan pada kualitas visi dan kerja nyata. Apakah jalan ke desa-desa akan lebih cepat diperbaiki dengan Mobil baru? Atau apakah data kemiskinan menurun seiring meningkatnya spesifikasi interior mobil dinas?
Jika mobil lama dianggap tidak layak, mari kita uji bersama: layak menurut standar siapa? Jika sekadar tidak mewah, apakah itu berarti tak pantas untuk dipakai melayani?
Sebagai mahasiswa, kami tidak anti terhadap fasilitas. Tapi kami lebih resah ketika belanja simbolik lebih disegerakan dibandingkan belanja substansial untuk pendidikan, pertanian, dan kesehatan.
Maka dari itu kami mempertanyakan Bagaimana bentuk konkret efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah daerah selama tahun anggaran berjalan?
Seandainya saja ada kendaraan yang bisa mengantar integritas dan akuntabilitas sampai ke pelosok desa, maka itulah kendaraan dinas terbaik. Sayangnya, kendaraan semacam itu belum bisa dibeli. Ia hanya bisa dibangun dari kesadaran, dari rasa malu, dan dari kepedulian sejati.