Kronologi, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membagi pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi peluang untuk menata kembali sistem politik kepemiluan di Indonesia.
Selama ini berbagai kalangan baik parpol maupun masyarakat telah merasakan sistem pemilu masih belum berdampak pada penguatan kelembagaan partai politik dan peningkatan partisipasi publik yang belum maksimal. Akibatnya, keterikatan masyarakat dengan partai rendah, politik uang tinggi dan jarak anggota DPR dengan konstituen menjauh.
“Di Indonesia Party ID sangat rendah, dampaknya tidak ada partai yang dominan. Partai pemenang pemilu sejak reformasi perolehan suara hanya berkisar 17-22 %. Akhirnya koalisi dengan sangat pragmatis tanpa mempertimbangkan aspek visi, program maupun ideologi partai,” kata Direktur Program Puspoll Indonesia, Chamad Hojin saat dihubungi wartawan, Selasa (8/7/2025).
Menuru Hojin, ada sejumlah putusan Mahmah Konstitusi ( MK) yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR terkait sistem kepemiluan. Di antaranya, putusan MK tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden menjado nol persen dari 20 persen, lalu pembatalan ambang batas parlemen 4 persen, ambang batas pencalonan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan terakhir tentang pemisahan pemilu nasional yakni Presiden, DPR dan DPD dengan pemilu lokal yakni kepala daerah, DPRD Provinsi dan Kabupaten.
“Melalui empat putusan MK terkait pemilu dan pilkada tersebut, semestinya kesempatan pemerintah dan DPR untuk menata lagi sistem kepemiluan Indonesia. Apalagi sebelumnya ada wacana penggabungan sistem perolehan kursi dari suara terbanyak ke penggabungan nomor urut partai dan perolehan suara,” ujar dia.
Puspoll Indonesia, lanjut Hojin, telah melakukan berbagai riset baik secara kualitatif maupun kuantitatif bahwa relasi parpol dengan kader, DPR dengan konstituen masih sangat rendah.
Akibatnya parpol dalam menentukan calon legislatif yang akan diusung kriterianya sangat pragmatis. Misalnya dengan menunjukan isi rekening sebagai kemampuan bertarung, bukan isi program yang akan ditawarkan ke masyarakat.
“Kami berharap melalui putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal menjadi awal untuk menata ulang sistem kepemiluan yang mampu memperkuat partai politik melalui peningkatan Party ID dan peningkatan partisipasi politik antara DPR dengan konstituennya,” terang Hojin.
Untuk diketahui, MK telah memutuskan bahwa mulai 2029 keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan ‘memisahkan’ penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu Nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota (Pemilu Daerah atau Lokal). Sehingga, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku.
Editor: Fian