Oleh: Hariqo Wibawa Satria
(Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan/PCO)
Mari jujur pada diri sendiri. Malam tiba, anak-anak kita masuk kamar. Mungkin kita tersenyum bangga, berpikir mereka disiplin.
Namun, pernahkah kita benar-benar tahu apa yang mereka lakukan di balik pintu tertutup itu?
Cahaya layar ponsel menyala mengancam kesehatan mata.
Jempol mereka terus menggulirkan ratusan video singkat yang dangkal tanpa henti. Jam menunjuk pukul tiga pagi, dia belum juga berhenti.
Tubuh mereka mungkin di rumah, tapi pikirannya hanyut entah ke mana.
Fungsi otak mereka bisa berkurang, akalnya mendangkal. Sulit bagi mereka untuk berpikir jernih, apalagi mendalam.
Pemandangan ini sering kita saksikan setiap hari. Coba tengok sekitar, tidakkah ini sudah jadi hal biasa? Otak anak kita seperti taman subur. Tapi tiap hari, taman itu disiram air limbah informasi.
Anak Anda Masa Depan Indonesia
Teman-teman, masa depan anak-anak kita adalah masa depan Indonesia. Jika otak mereka terganggu, kecerdasan dan kreativitas pun ikut terancam.
Bagaimana mereka bisa menghadapi tantangan hidup, membangun bangsa, atau bahkan sekadar memahami diri sendiri?
Mereka sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan akan kehilangan kemampuan dasar, dan kita semua akan merugi.
Bayangkan, saat Indonesia seharusnya berjaya di tahun 2045, generasi emas kita justru tertinggal, kalah bersaing dengan anak-anak dari negara lain. Tidakkah hati kita miris merenungkannya?
Ancaman ini punya nama: “brain rot” atau pembusukan otak. Ia tak terlihat, tapi dampaknya nyata dan merusak.
Brain rot muncul dari kecanduan media sosial dan paparan berlebihan pada konten yang minim makna, “konten receh” kata anak sekarang. Otak anak-anak kita yang seharusnya kritis dan peka, justru menjadi tumpul.
Mereka mudah terprovokasi oleh disinformasi fitnah dan kebencian atau DFK, tanpa sadar bisa jadi korban atau bahkan pelaku adu domba.
Mereka semakin susah membedakan mana cinta dan mana kebencian.
Ini bukan sekadar teori, ini bahaya di depan mata yang mengancam akal sehat dan hati nurani anak-anak kita.
Definisi Oxford jelas: brain rot adalah “kemunduran mental atau intelektual seseorang akibat konsumsi konten online berkualitas rendah atau konten dangkal secara berlebihan.”
Ini adalah panggilan darurat bagi kita semua.
Namun, kita tidak sendiri. Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo tidak diam.
Dengan komitmen penuh terhadap masa depan anak bangsa, pada bulan kelima masa jabatannya, Presiden Prabowo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.
Peraturan ini adalah bukti nyata keberpihakan negara pada anak-anak kita, dan terutama pada peran tak tergantikan dari orang tua dan keluarga. “Anak-anak kita adalah masa depan Indonesia,” tegas Presiden Prabowo saat itu.
Di dalam peraturan ini, kita akan menemukan banyak frasa “persetujuan orang tua.”
Contohnya, Pasal 21 ayat c yang menegaskan bahwa: Anak berusia 16 tahun hingga belum berusia 18 tahun dapat memiliki akun untuk Produk, Layanan, dan Fitur dengan persetujuan orang tua.
Peraturan ini juga mewajibkan penyedia Sistem Elektronik untuk menyediakan teknologi dan langkah-langkah yang memudahkan orang tua melindungi anak-anaknya.
Ini bukan hanya aturan, ini adalah jembatan kolaborasi antara pemerintah dan keluarga.
Upaya Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemenko PMK, Kemensetneg, Kemenkumham, KPAI, akademisi, media, aktivis, berbagai organisasi kemasyarakatan ini patut kita dukung sepenuh hati dan kita kawal bersama.
Suara kita, kritik kita sangat diperlukan, dan yang terpenting, keterlibatan aktif kita sebagai keluarga dan orang tua, akan membuat Peraturan ini berjalan sesuai harapan.
Tanpa peran aktif kita, aturan sebagus apapun bisa tidak maksimal pelaksanaanya.
Upaya Pemerintahan Presiden Prabowo dengan program:
Makan Bergizi Gratis, Cek Kesehatan Gratis, revitalisasi sekolah, sekolah garuda, sekolah rakyat, beasiswa, tunjangan guru, dan banyak program pembangunan SDM lainnya juga bisa terganggu jika anak-anak kita kecanduan game online, menghabiskan banyak waktu dengan HP serta konten recehan yang merusak otak mereka.
Kekhawatiran ini sudah lama. Riset Global Kaspersky pernah mengungkap fakta mengejutkan:
84% orang tua khawatir tentang keamanan online anak mereka, namun ironisnya, banyak yang tak pernah meluangkan waktu untuk membicarakan bahaya ini dengan anak dan keluarganya.
Menurut studi bertajuk Disrupting Harm (2022), yang dilakukan Ecpat Internasional, Unicef, dan Interpol: 42 persen anak-anak berusia 8-18 tahun merasa tidak nyaman atau takut dengan pengalaman daring. Hal yang sama berlaku untuk 24 persen anak-anak penyandang disabilitas.
Terbaru, wawancara 17 pakar oleh Harian Kompas pada April 2025 menegaskan: 81,8 persen pakar sepakat bahwa brain rot benar-benar terjadi, dipicu oleh banjir konten digital yang serba cepat dan dangkal.
Paparan konten ini memicu dopamin berlebihan, zat pemicu rasa senang di otak, yang berujung pada kecanduan. Bukankah kita menyaksikan ini setiap hari pada anak-anak kita?
Dari semua temuan, riset, dan pandangan pakar, ada satu benang merah: kita harus bergotong royong.
Kita harus berkolaborasi. Tidak bisa sendiri-sendiri. Mencegah brain rot pada anak-anak kita adalah tugas kita bersama.
Kita patut bersyukur, di saat ancaman ini kian nyata, pemerintah telah bergerak cepat dengan regulasi ini.
Dukungan dari media pun begitu terasa. Sekarang, saatnya kita semua bersatu padu.
Selain itu yang menggembirakan adalah banyak pakar dan orangtua yang memberikan edukasi dan pengalamannya terkait mencegah kecanduan internet pada anak.
Saling berbagi pengalaman mencegah brain rot ini juga bisa dilakukan di rumah, sekolah, tempat ibadah, arisan, pengajian, reuni, halal bi halal, di acara pernikahan, kelahiran, perpisahan sekolah.
Pencegahan brain rot juga bisa menjadi tema Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, penelitian, orientasi sekolah, hingga kegiatan kepemudaan di kelurahan.
Mari bersama-sama kita lindungi otak anak-anak kita. Mari kita pastikan mereka tumbuh menjadi generasi emas yang sehat, cerdas, tangguh, berpendapatan tinggi dan berkarakter pada tahun 2045.
Salam Indonesia Bergerak Maju!
Depok, 3 Juli 2025