TAK sekali duakali Presiden Prabowo melontarkan kekuatan asing dalam mengintervensi setiap kebijakan besar bangsa Indonesia. Pernyataan ini lebih tebal terhadap isu-isu yang berkenaan dengan sumber kekayaan alam Indonesia yang melimpah, tetapi di sisi yang lain, tak pernak dinikmati oleh bangsa dan rakyat Indonesia sendiri.
Pada tahun 2024, ekspor Indonesia memang mengalami penurunan sebesar 2.24% dibanding November 2024 disebabkan oleh menurunnya ekspor nonmigas 3.36%, sedangkan ekspor migas naik 17.12%. Meskipun jika dibandingkan November 2024, ekspor justru mengalami kenaikan mencapai 4.78%.
Dan secara kumulatif, menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor migas dan nonmigas periode Januari – Desember 2024 naik. Masing-masing mengalami kenaikan dibandingkan periode 2023.
Data ini menjelaskan bahwa kekayaan Indonesia sangat besar. Sektor migas dan nonmigas melimpah. Sayangnya, kita dihadapkan pada lemahnya pengelolaan secara mandiri yang mengakibatkan Indonesia hanya menikmati sebagian kecil, sementara bangsa besar lainnya seperti Eropa yang justru banyak mengambil keuntungan.
Hal yang tidak kasat mata ini, kemudian ditutupi dengan narasi-narasi miring seperti dampak lingkungan dan seterusnya. Baik menggunakan teknologi terkini dengan memperlihatkan hutan gundul dan sebagainya. Padahal pengelolaan secara mandiri seperti konsep hilirisasi tak banyak yang tahu, sebagaimana gencar dilakukan oleh pemerintah masa sekarang. Hal ini berlaku juga dalam sektor pertambangan yang belakangan ini menjadi sorotan publik, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga luar negeri.
Sudah saatnya kita membuka mata: narasi anti-tambang yang terus digaungkan oleh segelintir kelompok konservatif ternyata tak sepenuhnya lahir dari kepedulian terhadap lingkungan. Di balik bendera ‘konservasi’, ada kepentingan global yang sedang bermain — terutama dari negara-negara Eropa yang merasa terganggu dengan kebangkitan Indonesia sebagai penguasa nikel dunia.
Nikel bukan sekadar mineral. Ini adalah kunci masa depan. Dari baterai mobil listrik hingga teknologi bersih, nikel menentukan arah industri global. Ketika Indonesia memilih untuk mengolah nikelnya sendiri, membangun smelter, dan mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok dunia—justru saat itulah tekanan datang dari berbagai arah.
Kelompok konservatif di dalam negeri menjadi corong yang, sadar atau tidak, menyuarakan kekhawatiran yang selaras dengan negara-negara industri lama yang ingin tetap bergantung pada bahan mentah murah dari dunia selatan. Mereka menolak hilirisasi, menentang pembangunan, dan menciptakan citra buruk atas industri nasional—padahal inilah peluang sejarah kita untuk keluar dari kutukan negara pengekspor bahan mentah.
Kita tentu mendukung kelestarian lingkungan. Tapi kita juga tak boleh naif. Di tengah persaingan geopolitik hari ini, kemandirian ekonomi Indonesia adalah mimpi buruk bagi mereka yang selama ini menguasai industri dunia. Maka mari bedakan antara kritik konstruktif dan propaganda destruktif. Jangan sampai kita terjebak menjadi pion dari skenario asing yang tak ingin bangsa ini berdaulat atas sumber dayanya sendiri.
Kita patut bertanya, sampai kapan kita menasbihkan diri sebagai negara pengekspor? Sementara negara lain yang menikmati kekayaan besar bangsa Indonesia dengan cara memukul mundur pembangun dan hilirasi yang menguntungkan bangsa sendiri?