Oleh: Mansur Martam, Penyuluh Agama Islam Kemenag Boalemo
Banjir yang melanda Pohuwato, Gorontalo, bukan sekadar bencana alam yang terjadi tiba-tiba. Ini adalah dampak nyata dari eksploitasi lingkungan akibat Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang telah menghancurkan hutan-hutan di wilayah tersebut. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada tindakan nyata yang serius dari pemerintah maupun aparat penegak hukum.
Di sinilah ekoteologi—konsep yang mengaitkan ajaran agama dengan tanggung jawab terhadap lingkungan—seharusnya menjadi perhatian utama. Agama bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tentang bagaimana manusia menjaga amanah Tuhan atas bumi.
Di Gorontalo, banyak elemen keagamaan yang memiliki peran besar dalam membentuk moral dan kesadaran masyarakat. Namun, di tengah bencana ekologis yang terus berulang, di manakah suara mereka?
- Lembaga Keagamaan dan Tanggung Jawab Moral
1. Alkhairaat
Sebagai lembaga pendidikan Islam terbesar di kawasan Indonesia Timur, Alkhairaat telah melahirkan banyak alumni yang kini menjabat di berbagai posisi strategis, baik di pemerintahan, aparat hukum, maupun tokoh masyarakat.
Pertanyaannya: di mana peran mereka dalam menanggapi kehancuran lingkungan di Gorontalo? Jika benar mereka dididik dengan nilai-nilai Islam yang menekankan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, maka mereka seharusnya bersuara lebih keras terhadap eksploitasi alam ini.
2. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Gorontalo
Sebagai lembaga yang memiliki otoritas keagamaan, MUI seharusnya mengeluarkan fatwa yang tegas mengenai haramnya eksploitasi lingkungan secara brutal. Merusak hutan yang menyebabkan banjir, tanah longsor, dan penderitaan masyarakat bukan hanya pelanggaran hukum negara, tetapi juga dosa besar dalam Islam.
Mengapa hingga saat ini belum ada sikap tegas dari MUI Gorontalo terkait PETI? Jika MUI bisa mengeluarkan fatwa tentang rokok, riba, dan lainnya, mengapa tidak untuk PETI yang nyata-nyata merusak bumi dan mengancam nyawa manusia?
3. Nahdlatul Ulama (NU) Gorontalo
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki ribuan kader yang bisa menjadi penggerak dalam gerakan ekoteologi. Konsep Fikih Lingkungan yang sudah dikembangkan NU bisa menjadi dasar untuk mengedukasi masyarakat mengenai bahaya PETI dan pentingnya menjaga alam.
Namun, di mana suara NU Gorontalo saat banjir melanda? Jika NU bisa bergerak dalam isu sosial lainnya, mengapa diam dalam isu lingkungan yang menyangkut nasib umat?
4. Muhammadiyah Gorontalo
Muhammadiyah dikenal dengan semangat tajdid-nya (pembaruan). Organisasi ini memiliki banyak sekolah, universitas, dan rumah sakit yang bisa menjadi pusat edukasi ekoteologi.
Di beberapa daerah, Muhammadiyah sudah mulai menjalankan gerakan lingkungan, seperti Gerakan Muhammadiyah Peduli Sampah dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
Namun, apakah Muhammadiyah Gorontalo sudah bersuara cukup keras dalam menanggapi bencana ekologi ini? Jika belum, ini saatnya Muhammadiyah mengambil peran lebih besar.
5. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Gorontalo
Gorontalo tidak hanya dihuni oleh umat Islam. Ada juga umat Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha yang juga terdampak oleh bencana ekologis ini. FKUB sebagai wadah kerukunan antarumat beragama seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan isu lingkungan sebagai kepentingan bersama.
Namun, hingga kini, belum ada gerakan besar dari FKUB terkait hal ini. Jika FKUB bisa bersuara untuk isu toleransi dan perdamaian, mengapa tidak dalam isu keadilan ekologis yang menyangkut keselamatan semua orang?
6. Lembaga Adat dan Kearifan Lokal
Gorontalo memiliki sistem nilai adat yang kuat, seperti Pohala’a (persaudaraan) dan Tinepo (keadilan). Lembaga adat seharusnya juga bersuara mengenai eksploitasi alam yang bertentangan dengan nilai-nilai leluhur.
Jika para pemangku adat tetap diam, maka nilai-nilai kearifan lokal hanya akan menjadi pajangan tanpa makna.
- Apa yang Harus Dilakukan?
1. Fatwa Keagamaan tentang Ekologi
MUI dan organisasi Islam lainnya harus mengeluarkan fatwa bahwa eksploitasi lingkungan yang merusak adalah haram.
Gereja dan pemuka agama lainnya juga bisa memberikan ajaran tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi.
2. Gerakan Dakwah Ekologis
Para ulama, pendeta, dan pemimpin agama harus memasukkan isu lingkungan dalam ceramah dan khotbah mereka.
Jangan hanya bicara soal ibadah ritual, tapi juga soal tanggung jawab sosial terhadap lingkungan.
3. Tekanan terhadap Pemerintah
Para pemuka agama harus menekan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap mafia tambang ilegal.
Jangan sampai ada pejabat yang justru melindungi perusak lingkungan!
4. Pendidikan Ekoteologi Sejak Dini
Sekolah-sekolah berbasis agama harus memasukkan kurikulum tentang lingkungan dalam pendidikan mereka.
Generasi muda harus sadar bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ajaran agama.
- Kesimpulan
Semua elemen keagamaan di Gorontalo memiliki tanggung jawab dalam isu ini. Jika mereka tetap diam, maka mereka ikut bertanggung jawab atas penderitaan masyarakat akibat bencana ekologis ini.
Agama bukan hanya soal surga dan neraka, tetapi juga soal bagaimana manusia menjaga bumi ini. Jika para pemimpin agama dan alumni lembaga keagamaan tidak bertindak, maka mereka sebenarnya sedang mengkhianati ajaran yang mereka sampaikan sendiri.
Jika benar-benar ingin membela rakyat, ini saatnya para pemimpin agama dan alumni lembaga keagamaan bersuara dan bertindak! Jangan hanya diam dan menikmati jabatan, buktikan bahwa kalian adalah pemimpin sejati yang peduli terhadap amanah Tuhan atas bumi ini.