Oleh: Mansur Martam (Penyuluh Agama Islam Kemenag Boalemo)
Kronologi, Pohuwato – Ah, banjir di Pohuwato lagi? Biasa aja, kan? Toh, sudah jadi agenda tahunan. Setiap hujan deras datang, air pun ikut menyapa rumah-rumah warga. Pemandangan seperti ini sudah akrab: warga berlarian menyelamatkan barang-barang, anak-anak bermain air di dalam rumah, sementara pejabat sibuk… ya, sibuk entah di mana.
Kali ini, Kecamatan Popayato dan Taluditi yang kebagian jatah. Hampir 1.600 jiwa terdampak, tapi hebatnya, belum ada korban jiwa! Alhamdulillah, ini artinya pemerintah bisa tetap tenang tanpa harus terburu-buru mengambil tindakan. Kan, kalau belum ada korban, belum perlu repot-repot, ya?
Yang menarik, banjir ini bukan sekadar fenomena alam, tapi lebih ke ‘bonus’ dari ulah manusia. Semua tahu kalau hutan Popayato semakin botak karena aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI). Tapi siapa peduli? Para penambang masih santai beroperasi, dan para pejabat masih santai berdiam diri. Tentu saja, kalau tiba-tiba tambang ilegal berhenti, siapa yang bakal kehilangan “pemasukan tambahan”?
“Pemerintah jangan tutup mata!” kata Syahril Razak dari Aliansi Masyarakat Melawan (AMM). Wah, sebuah seruan yang sangat berani! Tapi, mari kita bertanya, apakah mata pemerintah memang masih bisa terbuka dalam urusan ini? Atau mungkin sudah terlalu nyaman menutup mata, sambil menutup telinga juga?
Yang lebih lucu, ada yang berharap aparat penegak hukum akan turun tangan. Oh, tentu! Seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti ada razia sesekali, lalu selesai. Nanti kalau sudah reda, tambang ilegal jalan lagi, lalu siklus ini berulang sampai dunia bosan.
“Ini akibat ulah manusia,” kata Syahril lagi. Jelas! Cuma manusia yang bisa menjadikan bencana sebagai tradisi tahunan. Hutan yang seharusnya menjadi benteng alam justru digunduli demi kilauan emas. Air sungai yang dulu jernih kini berubah menjadi warisan lumpur. Lalu, saat banjir datang, pemerintah pun akan menggelar rapat darurat, media ramai memberitakan, dan kita semua pura-pura kaget—seolah ini pertama kalinya terjadi.
Tapi jangan khawatir, warga Pohuwato sudah terbiasa. Mereka tahu bahwa harapan kepada pemerintah adalah investasi dengan return negatif. Makanya, mereka mulai membangun tanggul sendiri. Hebat, kan? Sudah bayar pajak, tapi masih harus menyelamatkan diri sendiri.
Jadi, mari kita tunggu episode selanjutnya dari serial tahunan “Banjir Pohuwato: Alam atau Ulah Manusia?” Dengan alur cerita yang tak berubah, tokoh-tokoh yang sama, dan ending yang bisa ditebak. Sampai jumpa di musim banjir tahun depan!