Oleh: La Ode Basir
(Koordinator Prakarsa Warga/Wakil Ketua Tim Pemenangan Pramono Anung-Rano Karno)
Mungkin Pilgub DKI 2024 bakal jadi momentum klasik yang dicari para ilmuwan politik di masa mendatang. Di balik prosesnya yang singkat, ia menyimpan alur cerita yang kompleks.
Abah Achmad Fachrudin menulis dengan cermat dinamika politik yang berkembang mengiringi pilgub ini dalam bukunya berjudul “Robohnya Politik Kartel di Pilgub DKI 2024: Kontestasi, Turbulensi, dan Ekspektasi”.
Bagi saya, karya Abah Fachrudin ini adalah stempel waktu bagi siapapun di masa mendatang yang ingin mempelajari satu kesimpulan penting: bahwa, pernah suatu ketika, politik di Jakarta dimenangkan oleh rakyat, meski lawannya adalah penguasa yang melakukan gurita persekongkolan dalam taraf tidak wajar.
Buku ini mula-mula menjelaskan tentang kartel politik. Mereka adalah orang-orang yang sudah ada bahkan sejak Orde Baru. Pada apa yang tampak, para kartel politik selalu berkolaborasi untuk mempertahankan kekuasaan, berbagi sumber daya, jabatan dan posisi, mengontrol kebijakan publik, serta membatasi kompetisi politik yang adil.
Bagi saya, buku ini memberi peringatan keras kepada kita semua tetang betapa berbahayanya kartel politik bagi demokrasi. Sebab, menguatnya kartel politik akan selalu dijawab langsung dengan kematian demokrasi. Untungnya di Indonesia, demokrasi tidak mati, setidaknya di Jakarta.
Pada Pilgub Jakarta 2024, karakter para kartel politik ini secara jelas dipertontonkan kepada publik ketika pasangan Ridwan Kamil–Suswono memborong dukungan dari 12 partai dan hanya menyisakan satu partai di luar mereka untuk dijadikan lawan yakni PDIP. Para kartel ini menamakan diri Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM-Plus).
KIM-Plus ingin mengejar aturan dalam Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mewajibkan parpol atau gabungan parpol memiliki minimal 20% kursi DPRD untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah. Sementara itu, PDIP sendiri hanya memiliki 14,15% dan praktis tidak bisa mengusung calon.
Namun, pada akhirnya UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan kita tahu kemudian PDIP mengusung Pramono Anung–Rano Karno dan mereka memenangkan kontestasi.
Terdapat tafsir yang beragam atas kemenangan paslon Pram-Doel. Ada satu kalimat Abah Fachrudin dalam buku ini yang saya anggap punya derajat kesahihan (_accent of reality_) yang kuat pada realitas, kurang lebih bahwa kemenangan Pram–Doel adalah simbol perlawanan publik Jakarta atas cawe-cawe penguasa yang direpresentasikan kepada utamanya eks-Presiden Joko Widodo.
Abah Fachrudin menulis: “Kemenangan Pram–Doel membuktikan rasionalitas, sikap kritis, dan kemandirian perilaku pemilih Jakarta, serta sekaligus perlawanan pemilih terhadap partai kartel maupun _political endorsement_ dari penguasa,” (hal 134).
Setelah kemenangan tercapai, tugas berat menanti pasangan Mas Pram dan Bang Doel. _Faidza faragta fanshab_, seperti tertulis dalam surat al-Insyirah, yang artinya apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.
Yang penting untuk diingat adalah, kemenangan besar yang diperoleh Mas Pram dan Bang Doel jelas muncul dari ekspektasi masyarakat Jakarta yang juga besar terhadap keduanya. Mereka dihadapkan pada persoalan rumit di Jakarta, dan tugas kita sebagai rakyat belum selesai.
Buku karya Achmad Fachrudin ini cocok dibaca oleh semua orang yang peduli dengan demokrasi. Bagaimanapun, kartel politik adalah penyakit yang sedang menyerang dunia. Tetapi peran aktif masyarakat sipil dapat menjadi lawan tanding yang kuat bagi kartel politik yang hendak menjerumuskan demokrasi terjun ke titik nol.
Jakarta, 19 Februari 2025
—-
Judul Buku: Robohnya Politik Kartel di Pilgub DKI 2024: Kontestasi, Turbulensi, dan Ekspektasi
Penulis: Achmad Fachrudin
Penerbit: Pustaka Literasindo
Tebal: 161 Halaman
Cetakan Pertama: Januari 2024