Arah Pantura, Bandung – Seorang mantan pramugari berinisial GSA (24) melaporkan suami sirinya, MT, atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berupa pemaksaan aborsi terhadap kandungan GSA. Peristiwa tragis ini terjadi di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Polisi kini tengah menyelidiki kasus tersebut.
“Kami menerima laporan dari korban GSA (24) yang melaporkan suami sirinya atas dugaan KDRT, dengan cara memaksa korban menggugurkan kandungan. Kasus ini sedang ditangani Unit PPA Satreskrim Polres Sukabumi,” ujar Kasat Reskrim Polres Sukabumi, Iptu Hartono, Selasa (28/1/2025).
Menurut laporan, peristiwa aborsi paksa ini terjadi pada Jumat, 29 November 2024. Namun, korban baru melaporkan kasus ini ke pihak berwajib pada Kamis, 23 Januari 2025.
Kuasa hukum korban, M Tahsin Roy, memaparkan bahwa kejadian ini bermula saat GSA memberi tahu MT bahwa dirinya sedang mengandung anak mereka. Namun, bukannya bahagia, MT justru menunjukkan ketidaksenangan. Bahkan, keluarga suami siri korban juga menolak kehamilan tersebut.
Penolakan dari suami dan keluarganya membuat GSA merasa tertekan. Meski demikian, GSA tetap berusaha merawat kandungannya, meski sering terlibat cekcok dengan MT. Kondisi ini membuat GSA mengalami stres berat hingga harus dirawat di RSUD Palabuhanratu.
Selama menjalani perawatan, bukannya memberi dukungan, MT justru diduga terus memaksa GSA untuk menggugurkan kandungannya yang berusia tujuh minggu. Pada 29 November 2024, MT datang menjenguk dengan membawa jamu yang diklaimnya sebagai obat untuk mempercepat pemulihan GSA.
Awalnya, GSA menolak meminum jamu tersebut karena merasa curiga. Namun, setelah terus dirayu, GSA akhirnya meminumnya. Beberapa jam kemudian, korban mengalami kontraksi hebat dan pendarahan.
“Hasil pemeriksaan medis mengungkap bahwa jamu tersebut mengandung ramuan yang digunakan untuk menggugurkan kandungan,” ujar Roy.
Keguguran akibat perbuatan suami sirinya menyebabkan GSA mengalami trauma mendalam. Ia bahkan beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya karena stres berat. Saat ini, GSA masih mendapatkan pendampingan dari psikiater untuk memulihkan kondisi mentalnya.
Roy menegaskan bahwa pihak kepolisian sudah memiliki barang bukti, saksi, dan keterangan ahli yang cukup untuk menjerat MT. Ia meminta agar polisi mempercepat proses hukum dan segera menangkap pelaku.
Iptu Hartono menyatakan bahwa pihaknya terus mengumpulkan bukti-bukti tambahan terkait kasus ini. “Kami masih mendalami laporan dari korban dan memeriksa sejumlah saksi. Kasus ini ditangani serius oleh Unit PPA,” tegasnya.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya penanganan serius terhadap KDRT, terutama jika melibatkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.**
Artikel ini juga tayang di ArahPantura.id