Kronologi, Jakarta – Jelang Pilkada 2024, banyak politikus yang memainkan strategi ‘kutu loncat’ demi mengejar kekuasaan. Salah satunya seperti yang dipraktikkan calon gubernur petahana Kalimantan Timur (Kaltim) Isran Noor.
Betapa tidak, mantan Ketua DPW NasDem Kaltim itu dalam sepekan tercatat ‘bergabung’ menjadi kader Demokrat sekaligus PDIP. Isran Noor jadi kader PDIP terkonfirmasi dalam surat edaran PDIP tertanggal 13 Agustus 2024.
PDIP melampirkan nama Isran Noor sebagai calon kepala daerah kader PDIP yang diusung untuk Pilkada Serentak 2024.
Padahal, empat hari sebelumnya yaitu pada 9 Agustus 2024, Isran Noor baru saja ditasbihkan sebagai kader Demokrat. Saat itu, ia menerima rekomendasi partai berlambang bintang mercy dari sang Ketum DPP Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY.
Direktur Pusat Kajian Pancasila (Pusaka Pancasila), Fakhruddin Muchtar, menilai langkah tersebut tidak elok dilakukan oleh seorang calon pemimpin.
“Saya kira perilaku semacam itu tidak bijaksana. Karena politik tidak melulu tentang kekuasaan, tapi juga tanggung jawab moral,” kata Fakhruddin kepada wartawan, Jakarta, Senin (19/8/2024).
Menurut Fakhruddin, sebagai calon pejabat publik, politisi perlu memberikan pendidikan positif kepada masyarakat, agar tidak dianggap membenarkan keyakinan negatif publik. “Bahwa politik adalah seni untuk memperoleh kekuasaan dengan cara apapun,” katanya.
Lebih jauh, ia mengingatkan, bahwa dalam Pancasila, demokrasi politik merujuk pada sila keempat.
“Nah, perlu diingat di situ ada frase ‘dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan’. Artinya, sejak awal kebijaksanaan adalah hal yang penting dalam politik Indonesia,” jelas dia.
Karena itu, kata Fakhruddin, pemimpin ideal bukan yang hanya mampu menelurkan kebijakan, tapi juga memiliki kebijaksanaan.
“Bayangkan, kebijakan macam apa yang kelak akan lahir kalau sejak awal sudah seperti itu,” ungkapnya.
Sebelumnya, Direktur Riset dan Program Puspoll Indonesia Chamad Hojin juga mempertanyakan integritas dan konsistensi politik Isran Noor.
Sebab, sikap pragmatis atau opurtunis telah membuat politikus kutu loncar berakrobat tanpa rasa malu. Akibatnya, publik pun bingung melihat manuver tersebut.
“Jadi, publik pun serta merta akan bingung dan akan beranggapan, jika partai politik yang membesarkanya saja dengan mudah dia khianati, apalagi rakyat? bisa jadi dia akan lebih mudah mengkhianati amanah rakyat,” ujarnya.
Hojin pun mengatakan gonta-ganti parpol di kalangan politisi bukan barang baru dalam gelanggang pemilu. Menurutnya perpindahan itu kini sudah menjadi fenomena musiman setiap hajat demokrasi lima tahunan.
“Apakah ada yang salah dengan fenomena politisi kutu loncat? Apakah wajar dan beretika? Dia sudah tidak peduli itu. Bahkan kritikan publik pun dia abaikan,” katanya.