Semarang — Radikalisme bukan lagi masalah yang hanya menyasar kalangan dewasa. Anak dan remaja juga menjadi sasaran, apabila tidak dibekali pengetahuan dan kewaspadaan sejak dini.
Hal inilah yang mendorong Yayasan Anantaka, bekerja sama dengan Kreasi Prasasti Perdamaian dan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kota Semarang, menggelar nonton bareng (nobar) film dokumenter “Road to Resilience” di SMAN 12 Semarang, Jumat (13/6/2025).
Selain menyaksikan film, siswa juga diajak berdialog langsung dengan sejumlah narasumber, yaitu Sugeng Riyadi, mantan anggota Jamaah Islamiyah, perwakilan Kemenag Kota Semarang, dan tim dari Densus 88.
“Road to Resilience” merupakan sebuah film dokumenter yang diangkat dari kisah nyata Febri Ramdani dan ibunya, eks simpatisan ISIS yang pernah hidup di Suriah. Setelah menyadari kesalahan, keduanya kemudian kembali ke Indonesia dan belajar hidup normal. Pengambilan gambar film ini terjadi selama delapan tahun, di bawah arahan Kreasi Prasasti Perdamaian.
“Isu radikalisme masih jarang diberikan ruang di kegiatan pencegahan kekerasan di sekolah. Hal ini tercantum juga di Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023, bahwa radikalisme adalah bentuk kekerasan yang perlu diberantas di satuan pendidikan,” ujar Ika Camelia, Direktur Yayasan Anantaka.
Ika juga menyayangkan masih banyak sekolah yang lebih fokus pada pencegahan kekerasan fisik dan perundungan, tapi kurang menyadari ancaman radikalisme dan paham ekstrem.
“Anak-anak perlu diberi pengetahuan dan kesadaran, agar nantinya dapat menjadi Pelopor dan Pelapor. Pelopor berarti mampu mencegah diri dan teman-temannya dari radikalisme, sedangkan Pelapor adalah siswa yang melapor jika menemukan indikasi yang mencurigakan.”
Sugeng Riyadi, yang turut berbagi kisah, menceritakan bagaimana dahulu dia terpapar paham radikal saat masih duduk di Madrasah Aliyah di Solo.
“Saya sempat diajak bergabung ke akademi militer di Afghanistan atau belajar agama di Timur Tengah. Tapi saya memilih melanjutkan studi di Semarang, Solo, atau Yogyakarta, demi masa depan yang lebih luas dan damai.”
Sugeng juga memberikan pesan penting kepada siswa SMAN 12 Semarang. “Jangan mudah terbuai janji manis yang dibungkus agama. Kita harus belajar, mencari kebenaran, dan menggunakan akal sehat.”
Sementara Sih Wahyu Nurhastanti, Kabid PPUG Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, menekankan peran keluarga yang penting dalam mencegah radikalisme.
“Komunikasi yang terbuka dan nyaman di rumah dapat menjadi benteng. Kalau tidak, anak akan mencari pelarian di luar, dan media sosial sering menjadi tempat yang rawan.”
Sih juga menyebut Puspaga menyediakan layanan konseling secara gratis, dibimbing oleh lima psikolog profesional. “Ini dapat dimanfaatkan keluarga dan anak-anak demi mencari solusi dan dukungan apabila terjadi masalah.” katanya.**