Semarang – Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Semarang melaporkan terdapat sebanyak 1.750 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga April 2025. Kepala Disnaker Kota Semarang, Sutrisno, menjelaskan bahwa mayoritas PHK tersebut berasal dari PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang mengalami kebangkrutan.
“PHK ini bukan karena perselisihan atau masalah internal, tetapi lebih banyak akibat perusahaan yang pailit,” ujar Sutrisno, Senin (9/6/2025).
Rinciannya, PHK akibat pailit Sritex mencapai 1.207 kasus. Selain itu, terdapat 58 kasus PHK karena efisiensi yang menimbulkan kerugian, 98 kasus efisiensi untuk mencegah kerugian, 17 kasus pelanggaran, 1 kasus penggabungan perusahaan, dan 369 kasus PHK akibat perpindahan lokasi usaha.
Terkait kondisi di Sritex, Disnaker telah aktif berkoordinasi dengan serikat pekerja, BPJS Ketenagakerjaan, dan Himpunan Bank Negara (Himbara) guna memastikan hak-hak pekerja terpenuhi, khususnya terkait jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) dan jaminan hari tua (JHT).
“Alhamdulillah, dari total PHK yang ada, kami berhasil menyelesaikan proses hak para pekerja dalam waktu sekitar 20 hari, dengan rata-rata 60 orang diselesaikan setiap harinya,” jelas Sutrisno.
Sutrisno juga menyebutkan bahwa sebagian perusahaan melakukan relokasi ke daerah seperti Grobogan, Jepara, dan Ungaran, sehingga menyebabkan PHK akibat perpindahan tempat usaha.
“Relokasi ini bukan disebabkan oleh upah minimum regional (UMR). Pengusaha sadar bahwa UMR yang kompetitif justru meningkatkan kualitas perusahaan dan daya saing tenaga kerja,” tambahnya.
Sebagian besar PHK terjadi di sektor industri garmen, yang masih menghadapi persaingan ketat dengan negara lain dengan biaya produksi lebih rendah.
Data tahun ini hampir sebanding dengan tahun sebelumnya, di mana angka PHK di Kota Semarang berada di kisaran seribu lebih.
Untuk mengantisipasi dampak PHK tersebut, Disnaker Kota Semarang menggelar berbagai pelatihan kerja bagi generasi muda dan mendorong pembukaan usaha baru.
“Kami mengajak masyarakat untuk berkoordinasi dengan kelurahan agar dapat mengusulkan pelatihan yang sesuai kebutuhan di tahun mendatang,” ujarnya.
Meski demikian, keterbatasan anggaran menjadi tantangan, karena dana untuk pelatihan saat ini berkurang dari Rp 1 miliar menjadi sekitar Rp 800 juta.
“Anggaran kami banyak bersumber dari APBN, namun mengalami revisi sehingga berkurang,” pungkas Sutrisno.**