Jakarta — Transformasi digital ASEAN semakin mendapatkan momentum dengan terselenggaranya Policy Roundtable bertajuk “Cloud: Fuelling ASEAN’s Digital Revolution” yang diadakan oleh ASEAN Economic Forum (AEF) pada Senin (19/5/2025) di Hotel Mulia, Jakarta. Forum ini menjadi panggung penting untuk menyoroti peran strategis teknologi cloud dalam memperkuat fondasi ekonomi digital kawasan dan memperluas inklusi teknologi lintas sektor.
Dalam sesi diskusi yang menghadirkan berbagai pemangku kepentingan regional dan global, terungkap bagaimana teknologi cloud tidak hanya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dan regional, tetapi juga membuka peluang besar bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pengembang perangkat lunak untuk masuk ke ekosistem digital lintas batas negara.
“Cloud bukan hanya soal teknologi, tetapi fondasi yang akan menopang ASEAN sebagai kawasan digital yang saling terhubung,” tegas Ashish Kapahi, CEO ASEAN Economic Forum, dalam sambutannya.
Ashish menekankan bahwa ekonomi digital telah menjadi mesin penggerak baru bagi negara-negara anggota ASEAN (AMS), mempercepat pertumbuhan sekaligus memperluas akses terhadap peluang ekonomi yang lebih inklusif. Ia juga menyoroti bahwa digitalisasi memungkinkan pelaku usaha besar maupun pemerintah untuk menyederhanakan struktur organisasi dan memperbarui model bisnis mereka secara efisien.
DEFA dan Peluang UMKM ASEAN
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya finalisasi kerangka ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA) yang direncanakan rampung pada akhir 2025. Framework ini diharapkan menjadi platform utama dalam mempercepat transformasi digital lintas kawasan, meningkatkan perdagangan digital, dan mendorong integrasi ekonomi yang lebih kuat.
“Digitalisasi bukan hanya untuk perusahaan besar. Justru UMKM yang akan paling diuntungkan. Mereka bisa memperluas pasar lintas negara, mengakses pembiayaan digital, dan bersaing di level regional,” kata Ashish.
Sejalan dengan itu, Boston Consulting Group memperkirakan bahwa ekonomi digital ASEAN berpotensi tumbuh hampir tiga kali lipat, dari US$ 300 miliar menjadi US$ 1 triliun pada tahun 2030—bila adopsi teknologi digital, termasuk cloud, terus di akselerasi.
Cloud Native dan Metodologi Agile: Kunci Ketahanan dan Inovasi
Salah satu pilar penting dari diskusi ini adalah teknologi cloud native yang disebut sebagai katalisator revolusi digital ASEAN. Teknologi ini memungkinkan perusahaan membangun sistem berbasis microservices yang cepat, fleksibel, dan tahan banting dalam menghadapi perubahan pasar yang dinamis.
“Di sinilah peran cloud native. Ia memungkinkan ketangkasan, skalabilitas, dan ketahanan yang dibutuhkan untuk bertumbuh dan berinovasi,” jelas Ashish.
Dengan dukungan platform orkestrasi seperti Kubernetes dan penggunaan kontainerisasi, perusahaan—termasuk UMKM—dapat memperluas layanan mereka ke seluruh ASEAN secara efisien. Ketahanan sistem berbasis cloud juga menjamin kelangsungan bisnis dalam situasi krisis atau lonjakan permintaan.
Forum ini juga menyoroti peran metodologi agile sebagai pendekatan manajemen proyek yang mendukung pengembangan berkelanjutan, iteratif, dan responsif terhadap umpan balik pasar. Kombinasi antara cloud native dan agile diyakini akan memampukan sektor bisnis untuk mengoptimalkan peluang dari DEFA, termasuk perdagangan digital lintas negara.
Tantangan Nyata: Literasi Cloud dan Akses UMKM
Meskipun potensinya besar, adopsi cloud native di ASEAN menghadapi tantangan nyata, terutama dalam hal kesenjangan literasi teknologi dan akses terhadap modal, terutama bagi UMKM. Pengetahuan teknis yang terbatas dan biaya migrasi ke cloud menjadi hambatan utama.
“Kita tidak bisa berbicara tentang revolusi cloud tanpa memberdayakan pelaku UMKM. Literasi teknologi dan pembiayaan harus menjadi prioritas,” ungkap salah satu panelis dari sektor teknologi.
Data terbaru menunjukkan pasar cloud computing di Asia Tenggara telah mencapai US$ 2,18 miliar pada 2022, meningkat 25% dari tahun sebelumnya. Namun, penetrasi cloud native masih terpusat pada perusahaan besar, sementara UMKM membutuhkan dukungan lebih konkret untuk turut serta dalam ekosistem ini.
Kolaborasi Regional dan Multi-Pemangku Kepentingan
Dalam gelaran ini, kolaborasi lintas negara dan sektor kembali ditegaskan sebagai kunci sukses transformasi digital. Baik sektor publik maupun swasta, serta komunitas akademik dan LSM, didorong untuk bersama-sama membangun infrastruktur digital ASEAN yang adil dan berkelanjutan.
Diskusi juga menyentuh tantangan geopolitik dan fragmentasi regulasi yang menghambat sinergi digital lintas batas. Dalam konteks ini, DEFA diharapkan menjadi batu loncatan untuk menciptakan standar bersama terkait keamanan data, interoperabilitas cloud, dan perlindungan pengguna.
Gelaran ini dihadiri oleh para tokoh terkemuka di bidang transformasi digital, antara lain: Sachin V. Gopalan (Chairman AEF), Cyrus Daruwala (Chairman ASEAN FinTech Forum), Daniel Schroeder (Digital Transformation Strategist GIZ), Nalin Singh (CEO Orbit Future Academy), Prantik Mazumdar (President TIE Singapore), Madanjit Singh (Founder Asia Market Partners), Harish Pillay (Wakil Ketua Singapore IT Standards Committee), Citra Nasruddin (Program Director Tech For Good Institute).
Melalui diskusi ini, ASEAN mengukuhkan komitmennya untuk tidak hanya mengikuti arus digital global, tetapi menjadi pelopornya di kawasan Global South. Cloud bukan sekadar alat teknologi—ia adalah sarana transformasi sosial dan ekonomi lintas generasi.
“Cloud adalah infrastruktur. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengisinya dengan nilai-nilai, inovasi, dan integrasi,” tutup salah satu peserta diskusi.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES