Oleh: Fernando Emas (Direktur Rumah Politik dan Kebijakan Publik Indonesia)
PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) RUPST dalam waktu tidak lama lagi akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Tahun Buku 2024 pada 27 Mei mendatang.
Bisa dikatakan, RUPST atau forum tersebut merupakan puncak dari seluruh rangkaian perjalanan sebuah perusahaan termasuk Telkom dalam menjalankan roda perusahaannya.
Dalam forum itu (RUPST) sejumlah agenda strategis bakal menjadi pembahasan serius para pemegang saham. Khusus bagi Telkom, setidaknya ada beberapa agenda penting yang bakal dibahas. Penting untuk diketahui, satu di antara sekian banyak agenda RUPST yang akan digelar Telkom, kemungkinan mengenai adanya rencana perubahan struktur jajaran direksi hingga komisaris.
Tentu agenda tersebut menjadi hal penting bahkan sangat dinanti-nati publik karena perusahaan plat merah itu, selain merupakan aset penting bangsa dan negara ini, juga merupakan kebanggaan rakyat Indonesia.
Betapa tidak, perusahaan yang berdiri sejak 1965 itu telah berkontribusi banyak terhadap arah perjalanan bangsa ini. Contoh kecil misalnya, sebut saja tatkala bangsa ini belum mengenal apa itu teknologi komunikasi, Telkom bisa dikatakan menjadi pioneer dalam mengantarkan bangsa ini untuk bisa saling berinteraksi satu sama lain (sebangsa) bahkan jadi jembatan penting bangsa ini dalam berinteraksi dengan dunia luar.
Selain menjadi kebanggaan bangsa ini, Telkom juga merupakan satu dari sekian ratus BUMN yang memiliki kekayaan (aset sangat besar). Valuasi aset Telkom bahkan mencapai Rp 299,54 triliun pada laporan kuartal I-2025.
Jadi, tidak salah ketika pemerintah memasukkan atau menggabungkan Telkom ke dalam Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Telkom bisa dikatakan sebagai salah satu andalan atau tulang punggung penting dalam Danantara jika dilihat dari sisi kepemilikan asetnya.
Selain itu, Telkom juga telah banyak mengukir prestasi bergengsi baik dari dalam maupun global.
Kini, emiten dengan kode TLKM itu tengah diterpa berbagai isu yang kurang enak didengar oleh publik. Dalam beberapa tahun ke belakang, sederet problem serius tengah membelit perusahaan kebanggaan milik rakyat itu.
Mulai dari persoalan kinerja, kepemimpinan, hukum, saham dan berderet problem lainnya yang rasanya tidak cukup diuraikan dalam tulisan pendek ini.
Kinerja Telkom Sedang Tidak Baik-baik Saja
Berdasarkan catatan penulis, setidaknya dalam 3 tahun terakhir, kinerja fundamental Telkom Group berada pada mode stagnan dengan tren menurun.
Sebut saja misalnya, dibeberapa aspek operasional, performansi Telkom/Telkomsel dengan kompetitor lainnya (swasta) seperti Indosat Oreedoo Hutchinson/IOH, XL Axiata) tersalip.
Contoh, dua kompetitornya yakni IOH dan XL Axiata dalam hal performa kinerja, keduanya mampu menunjukkan tren kinerja yang excellence atau positif. IOH misalnya, mampu mencatatkan pertumbuhan kinerja positif dalam tiga tahun terakhir.
Di mana, IOH berdasarkan catatan penulis mampu membukukan pendapatan Q1 -2025 sebesar Rp Rp13,57 triliun, dengan laba bersih Rp1,3 triliun. Capaian ini menandai 17 kuartal berturut-turut perusahaan membukukan laba positif.
Di waktu yang bersamaan dalam hal ini Telkom, sebuah perusahaan yang notabenenya ditopang resource tak terbatas, baik dari sisi regulasi, pendanaan, infrastruktur kinerjanya bisa dibilang kurang menggembirakan atau bahasa lainnya kalau tidak ingin disebut mengecewakan.
Telkom dalam tiga tahun (2023, 2024, 2025) terakhir, laporan per kuartal periode yang sama tahun berbeda, pendapatan laba bersihnya menurun. Pada Q1- 2023 laba bersih Telkom tercatat sebesar Rp6,42 triliun, Q1-2024 Telkom hanya mampu mencatatkan laba bersih senilai Rp6,05 triliun. Puncaknya, Q1 2025, perusaahan pelat merah tersebut hanya mampu membukukan laba bersih senilai Rp5,81 triliun. Tentu saja capaian tersebut menjadi catatan penting bahkan perhatian serius publik tanah air.
Pasalnya, Telkom sebagaimana diuraikan di atas yang merupakan perusahaan dengan resource tak terbatas, tidak mampu menunjukkan performa terbaiknya dibandingkan dengan para kompetitornya. Kondisi tersebut menyiratkan adanya sejumlah problem serius yang mendera perusahaan kebanggaan rakyat Indonesia itu.
Deretan Isu-isu Hukum Menerpa Telkom
Tak berhenti dipersoalan kinerja, BUMN telekomunikasi itu juga dalam beberapa tahun terakhir ini tengah dibelit berbagai macam isu atau persoalan hukum yang cukup serius. Kabarnya, sejumlah persoalan hukum yang mendera Telkom tengah diusut oleh Aparat Penegak Hukum (APH), Kejaksaan, KPK hingga Bareskrim Polri.
Adapun deretan kasus hukum yang mendera Telkom di antaranya atau mulai dari kasus dugaan korupsi pengadaan server dan storage di PT Sigma Cipta Raka atau TelkomSigma (anak usaha Telkom) periode 2017, dengan potensi kerugian negara ditaksir senilai Rp 280 miliar, kasus proyek digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) PT Pertamina (Persero) tahun 2018–2023, juga diduga menyeret Telkom Group sebagai penggarapnya.
Selain itu, kegagalan menghalau serangan hacker terhadap pusat data nasional (PDNS). Dan akhirnya kejadian tersebut menjadi bencana nasional.
Kabarnya Presiden Prabowo sangat kecewa atas kejadian ini. Di sisi lain, Telkom sebagai induk usaha diduga melempar tanggung jawab ke anak perusahaan (Telkomsigma). Jelas, jika hal ini benar (melempar tanggung jawab), rasanya kurang elok sikap demikian.
Secara hierarkis, harusnya apapun yang terjadi di bawah (terhadap anak usaha), sebagai induk mestinya Telkom berani mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin (pasang badan bila perlu), bukan meninggalkannya.
Kemudian, kasus dugaan korupsi pembiayaan proyek fiktif di PT Telkom periode 2016–2018, dengan perkiraan kerugian negara Rp 431,7 miliar, yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati DKI Jakarta, dan sudah 10 orang tetapkan sebagai tersangka. Serta kasus dugaan lainnya yang masih sumir diperdebatkan publik, seperti skandal TaniHub.
Deretan kasus-kasus tersebut mengindikasikan betapa lemahnya pengawasan serta “seolah” atau diduga terjadinya pembiaran oleh manajemen dan tentu saja kondisi demikian sangat mempengaruhi citra Telkom di mata publik maupun para investor.
Deretan persoalan hukum tersebut, jelas akan menganggu perjalanan Telkom ke depan. Bukan tidak mungkin, Telkom sebagai perusahaan telekomunikasi kebanggaan rakyat itu akan semakin terpuruk nantinya jika tidak segera “diobati” penyakitnya.
Tentu, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas sudah seyogyanya untuk tidak berdiam diri menyaksikan berbagai deretan persoalan serius yang tengah mendera perusahaan kebanggaan rakyat itu.
Pemerintah harus mengambil tindakan menyeluruh untuk membenahi persoalan-persoalan itu. Jika tidak, bukan tidak mungkin, Telkom hanya akan jadi abu sejarah dalam sejarah peradaban bangsa ini dan menjadi memori kolektif publik bahwa bangsa ini dahulu pernah mempunyai perusahaan yang menyediakan sinyal dan menjadi penguasa frekuensi. Jangan sampai, sinyal dan frekuensi itu hilang tanpa jejak. S.O.S, Mayday, Mayday!
Rentetan Problem Pengaruhi Harga Saham
Suka atau tidak suka, atau sudah menjadi hukum pasar bahwa sekecil apapun persoalan yang terjadi di sebuah perusahaan publik (Tbk) yang terdaftar di lantai bursa bisa berdampak terhadap kinerja saham sebuah perusahaan termasuk Telkom tentu saja dalam hal ini di bursa perdagangan (Bursa Efek Indonesia/BEI) maupun bursa lainnya (asing) jika sebuah perusahaan tersebut terdaftar di bursa saham asing.
Faktor internal maupun eksternal seperti menjadi hukum dasar bagi pasar atau investor dalam menentukan keputusan investasi mereka terhadap suatu perusahaan. Dua faktor itu menjadi elemen penting untuk dijaga, diperhatikan oleh perusahaan apapun termasuk Telkom yang namanya terdaftar di bursa perdagangan (BEI khususnya) guna menjaga stabilitas atau bahkan menaikkan nilai harga saham mereka.
Berhubung fokus penulis membedah berbagai aspek termasuk performa saham Telkom. Pertanyaannya apakah BUMN telekomunikasi kebanggaan rakyat itu nilai sahamnya patut dibanggakan atau sebaliknya? Mari kita urai.
Sejak pertama kali mereka (Telkom) melakukan Initial Public Offering (IPO) pada tahun1995-an, nilai harga perdana ada di level Rp2.050 per lembar saham, loncat ke tahun 2024, nilai saham Telkom mampu bertengger di level Rp4.200-an. Kini, saham Telkom jatuh atau merosot hingga kurang lebih 50%, data terbaru dari IDX (Indonesian Stock Exchange/Bursa Efek Indonesia), nilai saham Telkom per hari ini, Selasa (20/05/2025) ada di level Rp2. 740. Jadi tidak membual kan? Apa yang diuraikan? yakni mengenai merosotnya nilai saham Telkom yang kurang lebih hampir 50% tersebut tadi. Jika masih kebingungan, silahkan ambil kalkulator dan hitung sendiri!
Menyikapi fenomena tersebut, publik dipertontonkan dengan langkah Telkom yang berusaha menaikkan nilai sahamnya minimal setara dengan nilai saham setahun lalu. Satu di antara langkah yang Telkom lakukan yaitu dengan melakukan aksi korporasi berupa buy back saham. Dalam aksi korporasi tersebut, Telkom rela menggelontorkan dana senilai Rp 3 triliun. Pertanyaannya apakah berdampak signifikan aksi korporasi tersebut (buy back saham) terhadap kinerja saham mereka?
Yang jelas, aksi buy back tersebut tidak berdampak signifikan atau tidak mampu mengangkat harga saham mereka, sehingga tetap di kisaran Rp 2.800-an sekian.
Timbul pertanyaan, apa yang keliru dengan berbagai langkah yang diambil Telkom, sehingga pasar atau investor tidak begitu antusias seperti setahun lalu saat harga saham Telkom ada di level Rp 4.200-an. Investor nampaknya tidak bergeming menyambut hal tersebut? Cukupkah pasar atau investor diyakinkan dengan aksi buy back semata? Faktanya, langkah tersebut bisa dibilang kurang greget dan tidak membuat investor yakin.
Menurut hemat atau analisis penulis, kenapa harga saham Telkom tak mampu tembus di atas level Rp3.000-an setidaknya? Telkom nampaknya tidak bisa membaca persoalan secara komprehensif, sehingga keputusan yang diambil pun terlihat kurang matang. Padahal, hanya ada dua kunci untuk memulihkan kepercayaan investor.
Pertama, melakukan pembenahan secara fundamental (kinerja, isu hukum, saham, struktur manajemen dan lainnya). Persoalan-persoalan inilah yang selalu jadi catatan penting di mata para investor (faktor internal). Mustahil rasanya nilai saham Telkom bisa terkerek naik, setidaknya seperti setahun lalu (Rp 4.200-an) jika persoalan-persoalan tersebut tidak segera dibenahi.
Kedua, Telkom nampaknya belum mampu melakukan berbagai terobosan atau inovasi penting di sektor teknologi informasi dan komunikasi. Telkom hanya berkutat pada persoalan yang sifatnya tidak perlu memerlukan pemikiran atau ide. Beli saham, bangun Base Transceiver Station (BTS) dan lainnya.
Telkom sejak awal berdiri hingga saat ini, tidak pernah jor-joran menggelontorkan dananya demi kepentingan riset (riset and development/R&D) kalaupun ada, alokasinya mungkin sedikit.
Padahal, inovasi memiliki peran strategis dalam menggaet investor, bahkan sangat penting dalam meyakinkan investor asing agar tertarik menanamkan modalnya.
Faktor global, seperti perang tarif AS-China, perang Rusia-Ukraina, kondisi politik Timteng dan lainnya, bukan hal mendasar atau alasan keengganan para investor asing khususnya untuk menempatkan modalnya/investasi.
Bagi mereka (investor asing) hal paling mendasar yang jadi pertimbangan mereka dalam menempatkan dana investasinya yaitu soal seberapa jauh dan serius sebuah perusahaan termasuk Telkom mampu menghadirkan inovasi untuk meyakinkan mereka.
Apalagi Telkom sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi telekomunikasi, rasanya sedikit sekali terdampak oleh berbagai faktor global tadi. Kecuali, Pertamina mungkin masih masuk akal kalau dikatakan terdampak signifikan karena minyak dikuasai negara-negara yang instabilitas politik dan keamanannya kurang bagus.
Yang jelas, dua faktor (internal -eksternal) tersebut nampaknya tidak menjadi perhatian serius para pemangku kebijakan di Telkom. Jadi wajar kalau harga saham Telkom berada pada mode stagnan.
Investor Cenderung Jenuh Dengan Struktur Kepemimpinan
Masih menyambung soal nilai harga saham Telkom, selain beberapa faktor yang sudah diuraikan di atas. Faktor yang tak kalah penting yang turut memengaruhi penilaian para investor atau pasar yaitu soal struktur kepemimpinan. Pasar cenderung pesimis dan melihat Telkom sebagai perusahaan yang terjebak dalam status quo.
Wajar rasanya jika pasar atau investor melakukan penilaian seperti itu. Pasalnya, jika dilihat dari komposisi kepemimpinan (jajaran Board of Direction/BOD) yang ada di Telkom saat ini bisa dikatakan para pimpinan yang ada di BUMN telekomunikasi itu rata-rata dihuni oleh orang-orang yang sudah lebih dari satu dekade.
Sebut saja misalnya, pimpinan tertinggi Telkom saat ini yakni Ririek Adriansyah sudah 6 tahun menjabat sebagai Dirut, total 14 tahun sebagai direksi/ board of executive.
Dan hampir semua direksi lainnya juga sudah menjabat satu periode penuh. Termasuk Honesti Basyir, yang menjabat sebagai Direktur Group Business Development PT Telkom. Honesti Basyir memulai kiprah di Telkom sejak tahun 1993-an, kemudian 2017 diminta memimpin BUMN lain, dan 2023 hingga sekarang sebagai Direktur Group Business Development PT Telkom. Kemudian, Heri Supriadi yang menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Telkom sejak 2020. Heri sudah menjadi Direkur Keuangan Telkomsel (anak usaha Telkom) sejak 2012. Keduanya kini disebut-sebut juga sebagai calon Dirut Telkom jelang RUPST nanti.
Rasanya cukup beralasan, jika pasar atau investor cenderung jenuh, tak antusias dengan berbagai langkah atau keputusan bisnis yang diambil Telkom karena melihat status quo yang tak pernah berubah.
Mungkin saja, mereka (investor) menganggap status quo (struktur kepemimpinan) tidak akan mampu memberikan harapan dan keuntungan bisnis bagi mereka. Bagi mereka (investor) ide, wajah, dan harapan baru adalah faktor penting sebagai pertimbangan mereka untuk menempatkan atau menginvestasikan dananya di tempat yang tepat.
Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah
RUPST sebagaimana diuraikan di atas harus dijadikan forum serius oleh para pemegang saham termasuk pemerintah di dalamnya selaku pemegang saham mayoritas untuk melakukan perbaikan secara komprehensif.
Melalui forum RUPST, publik berharap agar pemerintah selaku pemegang saham mayoritas mampu menghadirkan wajah baru, harapan baru di tubuh Telkom ke depan. Bagaimanapun juga sudah menjadi tugas dan kewajiban Pemerintah menghadirkan citra positif Telkom ke hadapan publik.
Publik, Ya, publik tuan atau pemilik sah saham mayoritas Telkom! Publik kini menaruh harapan besar di pundak Telkom untuk membawa mereka (publik) menyusuri lekukan-lekukan jalan peradaban digital ke depan. Tuntunlah kami dengan sinyal dan frekuensimu Telkom, agar kami tak tersesat di rimba peradaban digital yang penuh lorong-lorong gelap ini. Harapan kini kami titipkan ke pundakmu (Telkom).
Selamat melaksanakan RUPST, semoga ada wajah baru, harapan baru, kepemimpinan baru (bukan status quo). Terima kasih!
Jakarta, 21 Mei 2025