Oleh: Sugiyanto (SGY)–Emik
~Pengamat Kebijakan Publik~
Beberapa hari terakhir, sejumlah rekan media meminta saya menyampaikan pandangan mengenai permasalahan parkir di Jakarta, terutama sejak dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta. Karena berbagai agenda lain yang tak kalah mendesak, baru sekarang saya sempat menulis pandangan mengenai isu penting ini.
Permasalahan parkir di Jakarta sudah berlangsung lama dan belum terselesaikan secara menyeluruh. Pengelolaannya yang tersebar antara Dinas Perhubungan (Dishub), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hingga pihak ketiga lainnya, menimbulkan pertanyaan mendasar: parkir di Jakarta sebenarnya dikelola untuk kepentingan siapa?
Dengan telah dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran oleh DPRD DKI Jakarta, harapan publik meningkat untuk adanya reformasi sistemik dalam tata kelola perparkiran. Namun, proses ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sebagai pengawas sosial, bukan hanya menjadi ajang formalitas politik semata.
Sejatinya permasalahan parkir di Jakarta bukan persoalan baru. Publik sudah lama mengetahui bahwa sektor ini sangat kompleks dan dugaan penuh tumpang tindih kewenangan. Bahkan, muncul dugaan adanya keterlibatan oknum anggota dewan dan pejabat pemerintah dalam praktik-praktik pengelolaan parkir. Kelompok atau individu yang memiliki kepentingan tertentu diduga ikut menguasai lahan parker baik secara resmi atau illegal, untuk tujuan mendapatkan keuntungan. Semua itu diduga kuat menjadikan sektor parkir berpotensi rawan penyimpangan dan sulit dibenahi.
Padahal, sektor parkir menyimpan potensi besar sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), asalkan dikelola secara profesional dan transparan. Sayangnya, dugaan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) telah membuat potensi tersebut bocor dan berujung pada potensi timbulnya kerugian daerah. Permasalahan ini tidak hanya bersifat teknis seperti soal tarif atau ketersediaan lahan parkir, tetapi juga menyentuh aspek kelembagaan, budaya masyarakat, serta lemahnya penegakan hukum.
Sebagai contoh konkret, Kepala Unit Pengelola Perparkiran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Adji Kusambarto, pernah menyampaikan bahwa kerusakan Terminal Parkir Elektronik (TPE) menyebabkan penurunan drastis pendapatan parkir—dari Rp18 miliar menjadi hanya Rp8,9 miliar. Di saat yang sama, dugaan praktik parkir liar terus menjamur di berbagai lokasi dengan menggunakan ruang publik secara ilegal. Ini adalah bentuk nyata dari potensi perampasan hak warga untuk menikmati fasilitas kota yang tertib, aman, dan nyaman.
Ketua Pansus Perparkiran DPRD DKI Jakarta, Jupiter, mengakui adanya potensi ketimpangan besar antara potensi pendapatan parkir yang mencapai Rp1,4 triliun dengan realisasi yang hanya sekitar Rp57 miliar per tahun. Selisih ini bukan hanya mencerminkan buruknya sistem, tapi juga mengindikasikan potensi kebocoran besar yang diduga kuat akibat lemahnya tata kelola dan rentannya sistem terhadap penyimpangan.
Kondisi ini menuntut evaluasi menyeluruh dan pembenahan sistemik. Pansus tidak boleh hanya menjadi panggung politik atau sekadar memenuhi prosedur. Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, partisipasi publik adalah elemen utama. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan tegas menjamin hak masyarakat untuk ikut mengawasi proses kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, termasuk pengelolaan keuangan daerah.
Kami, sebagai bagian dari masyarakat sipil yang peduli terhadap transparansi dan akuntabilitas, menyerukan agar Pansus Perparkiran DPRD DKI Jakarta membuka ruang partisipasi masyarakat. Kehadiran publik dalam proses ini bukan hanya penting untuk memperkuat pengawasan, tetapi juga akan memperkaya perspektif dalam merumuskan solusi kebijakan. Kami menyatakan kesiapan untuk terlibat secara langsung dalam rapat Pansus bersama aktivis dan jurnalis yang telah lama memantau isu parkir dan tata kelola keuangan di Jakarta.
Masalah parkir di ibu kota diduga telah menjadi ladang subur praktik ilegal. Mafia parkir dan kelompok-kelompok tertentu diduga memonopoli pengelolaan, melakukan pungutan liar, dan diduga juga merebut lahan publik untuk kepentingan pribadi. Ini tidak hanya merusak keuangan daerah, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial dan mengganggu ketertiban umum.
Oleh karena itu, gagasan Gubenur DKI Jakarta Pramono Anung untuk membentuk BUMD Parkir, tentunya BUMD Parkir yang profesional dan akuntabel bisa menjadi solusi struktural. Penerapan sistem pembayaran nontunai (cashless), peningkatan pengawasan berbasis teknologi, serta penegakan hukum yang tegas terhadap parkir liar adalah langkah penting. Di sisi lain, kebijakan inovatif seperti optimalisasi lahan parkir komunal di kawasan permukiman juga dapat mengurangi pelanggaran parkir di ruang publik.
Pansus Perparkiran DPRD DKI Jakarta harus menjadi instrumen perubahan, bukan alat ‘kompromi politik’. Sektor parkir harus dikembalikan ke jalur yang bersih, transparan, dan berpihak pada kepentingan warga kota. Tanpa keterlibatan publik, pembenahan ini berisiko gagal atau hanya menjadi formalitas semata.
Kami mendesak, libatkan masyarakat sekarang. Demi kota yang lebih tertib, adil, dan berintegritas.
Jakarta, 21 Mei 2025
Wassalam,
Sugiyanto (SGY) – Emik