Kronologi, Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) siap menerapkan sistem rekrutmen berbasis daerah dalam pendidikan dokter spesialis guna mengatasi ketimpangan distribusi tenaga kesehatan, terutama di wilayah terpencil dan tertinggal (3T).
“Selama ini distribusi dokter spesialis tidak merata. Pasien jantung atau stroke di Jawa punya peluang lebih besar untuk selamat, tapi di Sulawesi, Maluku, atau Kalimantan, risikonya lebih tinggi karena tidak ada dokternya,” kata Menkes Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Menurut Budi, penyebab utama ketimpangan ini adalah karena pusat-pusat pendidikan dokter spesialis selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan sebagian besar pesertanya juga berasal dari wilayah itu.
“Tidak mungkin kita minta mereka tinggal dan bekerja di daerah seperti Taliabu, Anambas, atau Nias,” cetusnya.
Karena itu, Kemenkes memperkenalkan sistem baru melalui Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) yang merekrut calon peserta pendidikan dari rumah sakit yang belum memiliki dokter spesialis. Pendekatan ini meniru sistem di Amerika Serikat, yang merekrut tenaga medis dari daerah untuk dilatih dan kembali melayani di tempat asalnya.
“Lalu rekrutmen kita ubah. Bukan lagi berdasarkan siapa yang mampu bayar, tapi dari rumah sakit-rumah sakit yang belum punya spesialis. Mereka itu yang kita prioritaskan,” kata Budi.
Kemenkes memastikan peserta program pendidikan akan tetap berstatus sebagai dokter umum, dan pegawai kontrak rumah sakit tempat mereka bekerja. Dengan begitu mereka tetap mendapatkan gaji selama masa pendidikan, mulai dari Rp5 juta di tahap awal hingga Rp10 juta per bulan pada tingkat akhir.
Budi menekankan, sistem ini dirancang agar peserta tidak perlu meninggalkan pekerjaannya atau kehilangan penghasilan seperti pada sistem pendidikan sebelumnya, yang menuntut dokter berhenti bekerja, membayar uang pangkal besar, dan kuliah penuh waktu selama empat tahun.
“Selama ini pendidikan dokter spesialis hanya bisa diakses anak-anak dari keluarga kaya. Karena harus berhenti kerja dan tetap hidup selama bertahun-tahun tanpa penghasilan. Itu yang ingin kita ubah,” ujarnya.
Dia berharap, reformasi ini dapat mempercepat produksi dokter spesialis dan meratakan distribusinya ke seluruh Indonesia, sekaligus memastikan kualitas pendidikan medis nasional setara dengan standar global.
Keyakinan itu tak lepas karena sistem baru yang diinisiasi Kementerian Kesehatan ini juga mengadopsi standar internasional dari Accreditation Council for Graduate Medical Education International (ACGME-I), termasuk aturan perlindungan peserta dari praktik kerja berlebihan dan perundungan.
“Peserta tidak dianggap murid, tapi pekerja. Kontrak kerja mereka diatur, maksimal 80 jam kerja per minggu. Kalau lembur 20 jam hari ini, besok harus istirahat. Ini kita ambil dari standar ACGME,” pungkasnya.
Penulis: Tio