Arah Pantura, Jakarta – Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menyayangkan keputusan Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, yang berencana menghentikan pasokan obat HIV, Malaria, dan TBC untuk negara-negara miskin di seluruh dunia.
Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan pembekuan bantuan dan pendanaan AS, yang mulai berlaku sejak Trump kembali menjabat pada 20 Januari 2025.
Sebagai informasi, USAID selama ini berperan penting dalam memberikan dukungan kesehatan, pembangunan ekonomi, dan kemanusiaan ke berbagai negara. Namun, dengan kebijakan baru ini, para mitra USAID, termasuk Chemonics, telah menerima memo untuk segera menghentikan distribusi bantuan obat-obatan.
Keputusan ini mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk Ketua Yayasan STPI, dr. Nurul Luntungan, yang menilai langkah tersebut sebagai ancaman besar bagi kesehatan global.
“Hal ini sangat disayangkan. Kebijakan ini memiliki dampak besar pada kehidupan manusia dan berisiko meningkatkan penyebaran penyakit secara global. Jika efisiensi menjadi alasan, harusnya ada langkah bertahap dengan mitigasi risiko, bukan keputusan mendadak seperti ini,” ujar dr. Nurul.
Keputusan ini juga menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan PBB dan WHO, terutama dalam mengeliminasi TBC pada tahun 2030.
Direktur Eksekutif STPI, dr. Henry Diatmo, menegaskan bahwa penghentian pendanaan obat-obatan dapat menggagalkan strategi global dalam penanggulangan penyakit ini.
“Jika kebijakan ini diterapkan, bukan hanya upaya mengakhiri pandemi TBC yang gagal, tetapi juga akan menghambat kemajuan kesejahteraan global,” jelasnya.
Sebagai negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia, Indonesia telah menjadikan penanggulangan TBC sebagai prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto 2024-2029. Namun, kebijakan Trump ini justru bisa menjadi langkah mundur dalam upaya tersebut.
“Kita semua sudah berupaya bersama untuk memberantas TBC. Tapi dengan keputusan seperti ini, rasanya seperti sabotase terhadap perjuangan kesehatan global,” lanjut dr. Henry.
Dr. Nurul juga berharap agar kebijakan terkait bantuan kemanusiaan tidak diambil secara instan dan politis, karena menyangkut hak dasar manusia untuk mendapatkan akses kesehatan.
“Bantuan kemanusiaan seharusnya didasarkan pada analisis kebijakan yang bijak. Tanpa akses obat-obatan, nyawa banyak orang terancam. Bahkan, Amerika sendiri akan terdampak jika rantai penyebaran TBC yang hampir putus kembali tersambung,” tutupnya.
Keputusan ini masih memicu perdebatan di tingkat internasional, dan berbagai organisasi kesehatan global terus mendorong agar kebijakan ini dibatalkan demi keberlanjutan penanggulangan penyakit menular.**
Artikel ini juga tayang di ArahPantura.id