Kronologi, Jakarta – Pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold 20 persen pencalonan pasangan capres-cawapes. MK sebelumnya, menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi.
Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan pemerintah menghormati putusan MK tersebut. “Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril, Jumat (3/1/2025).
Ia juga menegaskan, semua pihak termasuk pemerintah terikat dengan putusan MK tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun. Pemerintah, lanjutnya, menyadari permohonan untuk menguji Pasal 222 UU Pemilu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir dikabulkan.
Pemerintah, kata Yusril, juga melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu. Jika dibanding putusan-putusan sebelumnya.
“Namun, apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya. Dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” ucap Yusril.
“MK berwenang menguji norma Undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” katanya. Yusril pun mengatakan setelah putusan MK nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas itu, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres 2029.
“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold. Maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ujar Yusril.
“Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu. Serta masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” katanya.
Editor: Fian