Kronologi, Jakarta – Pekan ini, pekerja di Indonesia akan mulai menerima pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) Idul Fitri.
Pemerintah telah menetapkan pembagian THR pegawai swasta harus dibagikan mulai H-7 Lebaran, sementara pembagian THR ASN telah dilakukan lebih awal, yakni H-10 Lebaran.
Dengan pembagian THR ini, maka masyarakat akan mulai berbelanja kebutuhan Lebaran, seperti sandang dan pangan. Namun, tak banyak yang tahu, asal muasal pembagian THR di Indonesia.
Seperti diujuti dari CNBC Indonesia, ternyata sejarah THR dimulai pada tahun 1950-an. Saat itu adalah masa sulit bagi ekonomi Indonesia. Ketidakstabilan politik memantik krisis keuangan besar. Harga barang meroket. Daya beli masyarakat anjlok. Negara nyaris bangkrut.
Dalam kasus di Jakarta, Jan Luiten van Zanden dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2011) mencatat harga bahan pokok di ibukota negara melonjak ratusan persen pada 1959, menjadi 325% dari harga awal di tahun 1950.
Saat situasi sulit ini, salah satu kelompok yang sengsara adalah kaum buruh yang kerap diupah rendah. Mereka berada pada kondisi genting karena berada di zona kemiskinan dan tak mampu beli bahan pokok.
Kondisi makin parah saat tiba lebaran. Harga bahan pokok semakin melonjak, sedangkan mereka penghasilannya tidak bertambah. Akibatnya mereka tak mampu merayakan hari kemenangan dengan gembira dan masih bergelut dengan kemiskinan.
Kondisi seperti ini kemudian melahirkan kebijakan yang mengharuskan perusahaan memberi pendapatan ganda di luar penghasilan bulanan, atau disebut sebagai Tunjangan Hari Raya (THR).
Beberapa perusahaan pun mulai ada yang memberi THR bagi para buruh, meski bersifat sukarela. Karena bukan sesuatu yang wajib, hal ini kemudian menimbulkan masalah baru dan memperbesar ketimpangan.
Oleh karena itu, tulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an (2015), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut pemerintah membuat kebijakan resmi terkait pemberian THR.
Dalam berbagai forum, SOBSI serius memperjuangkan hadirnya aturan pemerintah tentang keharusan perusahaan mengeluarkan THR sebesar satu bulan gaji untuk menolong para buruh yang kesulitan menjelang Lebaran. SOBSI berdiri pada 29 Noveber 1946 di Yogyakarta. Sejak awal, SOBSI memperjuangkan nasib buruh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, SOBSI juga punya misi memberantas kemiskinan dan anti-korupsi.
Dalam perkembangannya, SOBSI bergerak berdasarkan teori Marxisme. Dan karena ini pula, organisasi buruh ini sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak pula anggota PKI yang jadi anggota SOBSI. Tak heran, SOBSI dianggap salah satu ‘onderbouw’ PKI.
Sebagai organisasi buruh nomor satu di Indonesia masa Orde Lama, salah satu hal penting yang diperjuangkan SOBSI adalah pemberian THR kepada buruh.
Namun, kiprah SOBSI harus berakhir di tahun 1966. Presiden Soeharto yang anti-komunis turut membubarkan SOBSI karena dianggap dekat dengan PKI. Banyak anggotanya yang ditangkap dan ditahan tanpa bukti pengadilan.
Setelah kejadian tersebut, tak ada lagi organisasi buruh sebesar SOBSI yang punya anggota sebanyak 2 juta orang.
Dua Kebijakan
Singkat cerita, tekanan SOBSI di berbagai forum tersebut membuat pemerintah mengeluarkan dua kebijakan pada tahun 1954.
Pertama, lewat Surat Edaran No. 3676/54 yang dikeluarkan Menteri Perburuhan, S.M Abidin, perusahaan harus memberi “Hadiah Lebaran” kepada para buruh. Jumlahnya sekitar Rp 50-300.
Kedua, tekanan organisasi buruh itu juga berbuah baik bagi para PNS. Pasalnya, lewat PP No. 27 tahun 1954 para PNS menikmati “Persekot Hari Raja”. Kebijakan ini membuat PNS bisa mendapat pinjaman dari pemerintah untuk membeli bahan pokok. Nantinya, mereka harus mengembalikan dana pinjaman dari hasil pemotongan gaji.
Sayang, surat edaran untuk para buruh yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum kuat. Akibatnya, banyak pula perusahaan yang tidak memberi THR atau hadiah lebaran.
Barulah enam tahun kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan No.1 / 1961 tentang kewajiban seluruh perusahaan untuk memberi THR kepada para buruh.
Nantinya, para buruh akan menerima uang sebesar satu kali gaji apabila sudah bekerja minimal 3 bulan.
Berkat aturan ini, buruh kemudian bisa merayakan hari kemenangan dengan kegembiraan. Dan berkat perjuangan panjang para buruh itu, kini para pekerja di seluruh Indonesia bisa mendapat THR menjelang Idul Fitri
Editor: Alfian Ra