Mediumnews.id, Jakarta – Forum Studi Halmahera atau Foshal Maluku Utara, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, Trend Asia, dan YLBHI mengungkapkan setumpuk masalah di program hilirisasi nikel. Seperti hilirisasi nikel yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Maluku Utara yang menyebabkan deforestasi atau penggundulan hutan secara besar-besaran.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Foshal Maluku Utara Julfikar Sangaji mengatakan, program hilirisasi nikel Jokowi memicu para penambang bijih nikel agresif membabat hutan yang menyebabkan laju deforestasi tidak terkendali.
“Penambangan bijih nikel yang didahului dengan aktivitas land clearing atau pembersihan area, karena itu sangat mustahil apabila tidak terjadi kehilangan tutupan hutan,” ujar Julfikar seperti dikutip dari Tempo.co, Senin (29/1/2024).
Tercatat saat ini lebih dari 213.960 hektare hutan di Maluku Utara telah terkepung Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel. Antara lain di Halmahera Timur yang terdapat 19 izin dengan total luas konsesinya sebesar 101.047,21 hektare. Sementara di Halmahera Tengah, ada 13 izin dengan luas total konsesi 10.390 hektare.
Lalu di Halmahera Selatan ada 15 izin dengan total luas konsesi sebesar 32.236 hektare. Selain itu, terdapat IUP nikel yang mencaplok dua kawasan administratif sekaligus, yakni wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah sebanyak 4 izin dengan luas total konsesi sebesar 70.287 hektare .
Dengan demikian, tutur Julfikar, kehilangan tutupan hutan dominan terjadi pada wilayah operasional penambangan bijih nikel. Data analisis spasial Global Forest Watch sejak 2001 hingga 2022 menunjukkan Halmahera Tengah kehilangan 26,1 ribu hektare tutupan pohon. Angka ini setara dengan penurunan 12 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 20.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Sementara di Halmahera Timur, sejak 2001 hingga 2022, telah kehilangan 56,3 ribu hektare tutupan pohon. Angka ini setara dengan penurunan 8,9 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 44.5 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Sedangkan di Halmahera Selatan, sejak 2001 hingga 2022 sudah kehilangan 79.0 ribu hektare tutupan pohon. Luas lahan tersebut setara dengan penurunan 9.9 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 62.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Di Provinsi Maluku Utara sendiri terdapat tiga kawasan hilirisasi industri pengolahan bijih nikel. Dua di antaranya yang sudah beroperasi adalah Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan tersebut terintegrasi dengan PT Weda Bay Nikel, di Weda, Halmahera Tengah.
Sedangkan di Buli, Halmahera Timur, pemerintah berencana membangun pabrik komponen kendaraan baterai listrik tahun ini. Pabrik itu diprakarsai oleh konsorsium LG dan konsorsium BUMN, yaitu PT Industri Baterai Indonesia atau dikenal Indonesia Battery Corporation (IBC).
Julfikar menuturkan, ketiga kawasan tersebut mendapatkan karpet merah dari pemerintah dengan ditetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Keistimewaan juga diberikan pemerintah kepada kawasan industri hilirisasi nikel ini, yakni ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional. Hal tersebut pun membuat kawasan itu begitu ketat dijaga aparat TNI-Polri.
Kerusakan lingkungan menyebabkan penderitaan masyarakat Maluku Utara. Data menunjukkan bahwa hilirisasi nikel memang meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara, namun di saat yang sama jumlah penduduk miskin justru bertambah.
Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara mencatat penduduk miskin Maluku Utara pada Maret 2022 sebanyak 79.87 ribu orang. Kemudian pada September 2022 jumlahnya naik menjadi 82.13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik menjadi 83.80 ribu orang. Fakta tersebut menunjukkan bahwa hilirisasi nikel di Maluku Utara hanya dinikmati oleh segelintir orang namun di sisi lain menyebabkan sebagian besar masyarakat termiskinkan.
Editor: Alfian Risfil A