Headline
Andi Mallarangeng soal Kembali ke ‘Sistem Proporsional Tertutup’: Jangan Kebiri Hak Pilih Rakyat!

Kronologi, Jakarta – Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Dr Andi Mallarangeng angkat suara merespons wacana yang dilontarkan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari terkait skenario Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup.
Diketahui, sistem proporsional tertutup ini merupakan satu macam dari sistem perwakilan berimbang dimana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat calon legislatif (caleg). Dalam sistem ini, kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik.
Andi Mallarangeng menganggap, wacana pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup ini sebagai kemunduran demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, ada sejumlah kelemahan dari sistem proporsional tertutup. Dia lantas menceritakan saat dirinya bersama Tim 7 yang dipimpin oleh Prof Ryaas Rasyid diminta untuk menyusun draft UU Pemilu baru yang demokratis oleh Pemerintahan era Presiden Bj Habibie.
Pada saat itu, Andi bercerita, pihaknya masih dalam semangat reformasi mengusulkan, dan disetujui oleh Presiden, sistem distrik campuran untuk pemilu legislatif dengan alasan untuk memperkuat akuntabilitas anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya.
Menurut Andi, selama Orde Baru, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Hal ini karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut yang ditentukan oleh parpol.
“Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.” tulis Andi Mallarangeng melalu akun FB pribadinya @Andi Mallarangeng, Kamis (29/12/2022).
Lebih jauh, Andi menambahkan, dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya adalah dekat-dekatlah kepada pimpinan partai.
“Dekat kepada rakyat tidak penting, yang penting branding partai tetap kuat di dapil. Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya,” ungkapnya.
“Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih, meskipun yang kerja keras mungkin caleg no 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih,” jelas Andi.
Selanjutnya, dia juga menyinggung pihak-pihak yang mengritik bahwa sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang.
Padahal, politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri.
“Bagi-bagi sembako menjelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orde Baru dengan proporsional tertutup,” terang mantan Jubir Presiden SBY itu.
“Jadi, kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis,” sambungnya.
Andi menegaskan, sistem proporsional terbuka akan menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat.
“Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat,” tegas dia.
Menurutnya, inilah yang membedakan dengan sistem proporsional tertutup, bahwa seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas, asal dia dekat dengan pimpinan partai.
“Kalau itu terjadi, maka yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka kepada pimpinan partai. Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati,” ucap Andi.
“Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia.’ imbuhnya.
Andi pada unggahan tersebut tidak hanya mengkritik namun juga memberikan usulan untuk lebih baik lagi yakni menggunakan sistem distrik, first past the post.
Yakni wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, di mana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil, hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas, akuntabilitas kuat
Namun jika mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik, menurut Andi Mallarangeng bisa digunakan sistem campuran distrik dan proporsional, seperti di Jerman, yang diusulkan Tim 7 dulu.
“Dengan sistem ini, mayoritas anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik, namun ada sebagian kursi diperebutkan dengan sistem proporsional tertutup. Yang terakhir ini mengkombinasikan akuntabilitas yang kuat kepada rakyat dengan kebutuhan partai untuk menempatkan elitnya di parlemen.” terangnya.
Terakhir, Andi menyebut bila sistem campuran ala Jerman ini tetap dianggap masih terlalu “menakutkan” bagi elit partai, maka pihaknya menyarankan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya
“Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup,” pungkasnya.
Editor: Alfian Risfil A
-
Regional7 hari ago
Buntut Aduan Ivana, Sejumlah Tokoh Kabupaten Gorontalo Bentuk Forum Penyelamat Daerah
-
Regional7 hari ago
Mobil Dinas Pejabat BPSDA Bengawan Solo Tabrakan di Magetan, 1 Orang Luka Berat
-
Regional6 hari ago
Bupati Gorontalo kembali Aktifkan Jabatan Yusran Lapananda
-
Megapolitan6 hari ago
Dicopot Tanpa Sebab, Pejabat DKI ini Minta Keadilan ke Pj Heru Budi
-
Regional5 hari ago
Syam Apresiasi Lomba Tradisional Karapan Sapi Danrem Cup 2023
-
Regional5 hari ago
Bakal Ada Demo di Lokasi Harlah PPP di Limboto
-
Regional6 hari ago
Safari Politik di Surabaya, Anies: Kakek Kami Berasal dari Ampel
-
Headline3 hari ago
Relawan ANIES Mulai Merambah Masuk ke Kampung-kampung Jakarta