Headline
Dekrit Presiden & Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan & Goro-Goro

Kronologi, Jakarta – WhatsApp Group (WAG) sebagai aplikasi chatting populer, bukan hanya sekadar untuk berkirim pesan teks, info, gambar atau video saja. Tetapi, banyak juga komunitas masyarakat yang memanfaatkannya untuk berinteraksi mendiskusikan berbagai hal, termasuk persoalan-persoalan serius tentang politik kebangsaan.
Setidaknya ini terjadi di WAG ‘Konstitusi & Masalah Negara’, yang anggotanya diisi banyak tokoh nasional, akademisi, ahli hukum hingga politisi. Diantaranya, adalah mantan Wagub DKI Jakarta Mayjen (Purn) TNI Prijanto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum hingga mantan Hakim Konstitusi (MK) periode 2008-2018, Prof. Dr. Maria Farida Indarti, S.H, M.H., pun ikut berinteraksi dengan WhatsApp.
Pada 24 November 2022, dalam WAG tersebut mencuat tema diskusi yang terbilang cukup serius, yaitu menyoal kedudukan hukum Dekrit Presiden terhadap Ketatanegaraan Indonesia dan implikasinya, dan apakah harus terjadi goro-goro?
Lantas, apakah Dekrit Presiden merupakan langkah yang Konstitusional atau Inkonstitusional?
Berikut chatting Prijanto, Prof. Dr. Suteki, & Prof. Dr. Maria Farida Indarti, di WAG Konstitusi & Masalah Negara, 24 November 2022, dan Japri, selengkapnya:
Chatting ini mencuat ketika WAG sedang ramai membicarakan konsep Dekrit Presiden tawaran Ketua DPD RI yang diikuti perpanjangan jabatan Presiden kepada Presiden Jokowi.
Di sisi lain, ada konsepsi Prijanto yaitu “Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan” dalam upaya mengatasi kegentingan negara yaitu disebabkan terjadinya pembelahan bangsa akibat sistem UUD 2002, dan “Tergembok”-nya MPR dan Konstitusi hasil amandemen UUD 1945. Pikiran Prijanto ini tertuang dalam bukunya “Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia.”
Secara garis besar, Prijanto menyampaikan kerisauannya adanya polarisasi Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung, yaitu terjadinya pembelahan bangsa dengan eskalasi yang sambung-menyambung, semakin tajam sehingga membahayakan kelangsungan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, Prijanto juga menilai MPR memang betul ada, dan kewenangan juga diatur dalam konstitusi, namun MPR saat ini bukanlah lembaga negara pemegang kekuasaan tertinggi. MPR hanyalah lembaga negara setingkat Komisi Yudisial saja. Bahkan, Prijanto menilai kewenangan tersebut tidak logis, tidak proporsional dan tidak memenuhi rasa keadilan. Prijanto mengutip pendapat filsuf Thomas Aquinas dan John Rawls, berpendapat pasal-pasal ini perlu direformasi atau dihapus.
Dari chatting ini, bisa diketahui bahwa “Dekrit Presiden”, tanpa diberi keterangan apa-apa, berbeda jauh dengan “Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan“ dari konsepsi Prijanto.
Sedang Japri dengan Prof. Dr. Maria Farida Indarti, terkait “Kedaruratan Negara.”
Prof. Dr. SUTEKI : Dekrit Presiden itu inkonstitusional (24/11 7:26 PM)
PRIJANTO : 100 persen betul. Amandemen 1999 – 2002 juga inkonstitusional.
(24/11 7:27 PM)
(Sebelum chatting ini, Prijanto sudah sering menjelaskan panjang lebar, bahwa Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 adalah inkonstitusional. Jadi negeri ini, saat ini, sesungguhnya memakai komlnstitusi hasil dari tindakan inkonstitusional yang tidak didukung rakyat, terbukti sejak prosesnya mendapat tentangan dari berbagai kelompok masyarakat peduli konstitusi. Apalagi diketahui adanya ikut campur tangan asing dalam amandemen. Sedang konsepsi yang ditawarkan Prijanto, adalah bersumber dari kehendak rakyat, isi dekrit pun dari kehendak rakyat dan didukung TNI, sehingga memiliki ligitimasi dari rakyat.)
PRIJANTO : Jika MPR ”Tergembok”, dan Pak Toyo bilang MPR “Lumpuh“ …. adakah jalan lain? (24/11 7:29 PM)
Prof. Dr. SUTEKI : Mau menegakkan konstitusi tapi menempuh jalan inkonstitusional.
Ini akan menjadi preseden buruk. ( 23/11 7:29 PM)
PRIJANTO : Benar. Tapi adakah jalan lain? (24/11 7:30 PM)
PRIJANTO : Kepres Dekrit ’59 kegentingannya adalah perpecahan bangsa, seperti saat ini. Kedua, Konstituante buntu, sama dengan MPR saat ini, yakni tergembok / lumpuh. (24/11 7:32 PM)
Prof. Dr. SUTEKI : Tapi JOKOWI tidak akan mau Pak. Menikmati UUD 2002.
(24/11 7:32 PM)
PRIJANTO : Mohon maaf Prof, konsepsi “Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan” yang saya sodorkan bukan hanya untuk Presiden Jokowi saja.
Siapa saja Presidennya, kapan saja, selama Indonesia dikangkangi oligarki kapitalis-liberalis atau sistem UUD 2002.(24/11 7:34 PM)
Prof. Dr. SUTEKI : SIAAAP!!! … (24/11 7:34 PM)
PRIJANTO :
“BUKAN DENGAN IMING-IMING, TETAPI MENGINGATKAN ATAS KEDUDUKANNYA DAN BERI KEYAKINAN.”
Kalau saya tidak nawari apa-apa kepada Presiden. Karena saya bukan siapa-siapa. Saya cuma rakyat biasa dan sudah tidak ingin jabatan apa-apa… saya sudah kenyang, di sisa umur ini saya sedang nunggu kematian.
Saya cuma akan bilang kepada siapa saja Presiden nantinya, dan kapan saja Presidennya, kurang lebih sebagai berikut:
Bapak Presiden yth, setiap tanggal 17 Agustus, setiap tahun, dalam acara KENEGARAAN bapak menjadi IRUP hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Artinya bapak itu KEPALA NEGARA.
Dalam waktu tertentu, bapak sebagai KEPALA NEGARA juga menerima Duta Besar baru, dari utusan Negara sahabat.
Nah, seandainya bapak Presiden melihat negeri ini dalam keadaan genting, yaitu telah terjadi pembelahan di negeri ini, sedangkan MPR tergembok, ibaratnya mirip kegentingan soal persatuan dan buntunya konstituante di tahun 1959, kiranya bapak selaku KEPALA NEGARA, atau Nakhoda negeri ini, atau pemegang kekuasaan di negara ini, berkenan untuk menggunakan kewenangan bapak, secara terkoordinasikan atas hasil perenungan yang mendalam. Apakah berbagai macam pembelahan di negeri saat ini bukannya kedaruratan negara?
BANGSA ini tampaknya memang sudah terbelah, nggak pasti apa jadi 2 atau lebih, walaupun secara fisik masih satu negeri.
PANCASILA, yang dulu jadi alat pemersatu sudah terbelah, ada lahir 18 Agustus 1945 dan 1 Juni 1945. Ada pula yang diperas-peras sehingga bukan Pancasila lagi.
KONSTITUSI, juga terbelah. Akibatnya pemikiran masyarakatnya ada UUD 1945 yang asli dan ada yang palsu.
SISTEM DEMOKRASI, juga terbelah. Ada yang mau demokrasi liberal ala AS, ada yang cinta demokrasi Pancasila. Bahkan ada juga yang mimpi sistem lainnya.
PARADIGMA, juga terbelah. Pembelahan pemikiran yang terjadi sudah begitu tajam, yang diwarnai kontestasi antar kelompok yang tidak fair berupa kecurangan, pembohongan publik, pemberitaan hoaks, ujaran kebencian dan fitnah, yang semuanya telah menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diwarnai ketidakadilan dan ketidakjujuran.
KEGADUHAN ASPEK KEHIDUPAN, baik aspek perpolitikan, perekonomian maupun sosial budaya, ibaratnya sama halnya dengan benda yang retak atau nyaris terbelah …. yang akan pecah !!!.
Yth. Bapak Presiden, … Seyogyanya, bapak selaku KEPALA NEGARA berkenan untuk mendengarkan suara rakyat dan mengambil keputusan sesuai kewenangan bapak, sebagai hasil koordinasi dengan para pemangku kepentingan, demi menyelamatkan Indonesia.
Maaf bapak Presiden, saya tidak bisa menawari apa-apa, dan tidak pantas saya ngiming-ngiming sesuatu untuk bapak, cuma berharap bapak mengambil keputusan yang tepat untuk Indonesia sesuai kewenangan bapak.
Mimpiku
Kuketik ketika kuterbangun
231122 02:40
Prijanto.
(24/11 7:35 PM)
… dan di ujung mimpi ada yg memberi 1 gambar jempol 👍.
PRIJANTO : Jika sebagian BESAR pimpinan Supra & Infrastruktur politik, setelah koordinasi setuju —> TNI terus siuman dan setuju —> ketemu Presiden selaku Kepala Negara yang benar dalam berpikir… dan klop …. selamatlah Indonesia. (24/11 7:39PM)
PRIJANTO : Untuk Ketua Lembaga Negara yang saya harapkan sadar, kesadaran atas kedudukannya yang disadari tidak optimal dan tiada arti dalam sistem bernegara adalah : Ketua MPR, Ketua DPD, Ketua MA dan Ketua KY.
Sedang Parpol di Senayan, saya yakin juga akan ada, sehingga benar-benar terjadi hasil koordinasi cerminan dari referendum + konvensi + dekrit Presiden = Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan. (25/11 7:45 PM)
PRIJANTO : …. maaf kalau MK saya pesimistis untuk setuju 😁😁😁 (24/11 7:46 PM)
(….. chatting dengan Prof. Suteki selesai, disambung dengan TUMPAL DANIEL soal sikap TNI.)
Pada 1/12/2022/10.18, Prijanto chatting dengan Prof. Maria Farida Indarti. Setelah ngirim chatting Prijanto – Prof. Suteki ini.
Prijanto : Ijin tanya Prof, apakah kedaruratan negara itu harus ada wujudnya seperti adanya “goro-goro?”
(Pertanyaan diajukan, karena ada pendapat, saat ini masih belum darurat)
Prof. Maria : Menurut saya kedaruratan Negara itu tidak harus ada “goro-goro”. Sekarang ini, saya rasa sudah darurat pak.
Prijanto : Alhamdulillah, Prof. Maria yth berpendapat yang sama dengan saya. Trims Prof.
Editor: Alfian Risfil A
-
Regional3 hari ago
Jawaban Orang Tua Viecri soal Laporan Polisi Sopir Truk
-
Regional2 hari ago
Proyek Jalan GORR Pakai Material Timbunan Ilegal? Pengawas: Tanya Bos!
-
Nasional6 jam ago
Jokowi Dianggap Aneh Tak Tegur KSP Moeldoko yang Gugat SK Menkumham
-
Regional3 hari ago
Sopir Truk di Gorontalo Lapor Polisi Usai Dianiaya 2 Pejabat
-
Nasional3 hari ago
MK Alami Degradasi Moral Sejak Anwar Usman Jadi Adik Ipar Jokowi
-
Megapolitan3 hari ago
Kongres MAPKB Diharapkan Jadi Momentum untuk ‘Merefresh Ulang’ Keluarga Besar Betawi
-
Nasional3 hari ago
Mega Minta Ganjar Tak Sungkan Akui ‘Petugas Partai’
-
Regional3 hari ago
Kemenkumham Gelar Anugerah Paralegal Justice Award sebagai Apresiasi ke Kades/Lurah