Kronologi, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya mengungkapkan kuantitas produk perundangan memang selalu menjadi sorotan kinerja legislasi DPR.
“Tentu beban legislasi itu selalu menjadi sorotan DPR, ya, kuantitas, tapi hari ini, periode ini, sangat produktif, cukup banyak” ujar Willy, Rabu (27/4).
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut pembuatan undang-undang (UU) tidak bisa sekadar berbasis kuantitas, tapi soal kualitas. Proses pembuatan UU juga lebih penting difokuskan pada mekanisme yang benar serta bermanfaat untuk masyarakat.
Berdasarkan data dari laman dpr.go.id (27/4), kinerja legislasi pada tahun prioritas 2022 mencatatkan 9 RUU yang sudah selesai termasuk RUU TPKS yang disahkan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Kemudian masih ada 11 RUU dalam tahap pembahasan, 9 RUU berstatus terdaftar, 3 RUU dalam tahap penyusunan, 6 RUU dalam tahap harmonisasi, dan 2 RUU dalam tahap penetapan usul.
Willy mengakui UU TPKS termasuk cepat dalam pembahasan namun sekaligus tidak meninggalkan substansi. Dalam waktu 8 hari, RUU itu selesai ditingkat pembahasan.
“Secara kualitatif, memang TPKS ini memang undang-undang yang sangat jos. Ini secara substansi mumpuni, secara proses cepat, 8 hari bisa kelar di proses pembahasannya,” tandasnya.
Hal ini, menurutnya, karena ada kesamaan kehendak politik dari DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan RUU tersebut. Selain itu, partisipasi dan dukungan dari elemen masyarakat juga terus mengalir. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah pun melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.
“Political will DPR dan pemerintah memiliki frekuensi yang sama, ditambah partisipasi publik yang begitu intensif. Dan DPR yang terbuka, sidangnya terbuka semua. Gak ada yang diumpet-umpetkan,” terangnya.
Menurut Willy, UU TPKS juga mengatur soal pelaku kekerasan seksual yang masih di bawah umur. Hal itu sebagai salah satu bukti kekomprehensifan UU TPKS.
“Hak pelaku, kalau pelaku anak itu kita rehabilitasi. Karena kita tahu, kekerasan seksual adalah sebuah dampak kausalitas yang sebelumnya bisa jadi dia menjadi korban kekerasan seksual. Jadi itu yang kita lihat secara komprehensif,” tegasnya.
UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal. Pasal 4 (1) UU TPKS memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik. Pasal 4 (2) juga mengatur 10 tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi perkosaan dan perbuatan cabul. Terkait dengan tidak adanya pasal yang mengatur tentang aborsi, Willy menjelaskan hal itu tidak didetailkan karena masuk dalam Undang-Undang Kesehatan. Sedangkan soal perkosaan ikut dalam RKUHP.
Discussion about this post