Kronologi, Jakarta – PT. Pertamina (Persero) diminta membatalkan rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan pertalite. Selain kebijakan itu tidak tepat, kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat masih terpuruk.
“Dari proporsi konsumsi BBM berdasarkan jenisnya, konsumsi premium saat ini tidak banyak. Dan memang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu yang memang hanya mampu membeli BBM murah seperti tukang ojek, pengemudi angkutan kota, dan kelompok usaha skala mikro yang sedang memulihkan usahanya,” kata anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak, di Jakarta, Kamis (30/12/2021).
Menurut Amin, jikapun ada penyalahgunaan penggunaan oleh konsumen diluar kelompok bawah, maka yang harus dilakukan adalah pengaturan dan pengawasan yang ketat. Bukan menghapus sama sekali premium dan pertalite. Karena ketersediaanya masih dibutuhkan masyarakat.
Lagi pula, tingkat konsumsi bensin premium selama ini tidak besar. Berdasarakan data Pertamina, tahun 2020 lalu, secara nasional konsumsinya rata-rata hanya 23,9 ribu kiloliter per hari.
Sedangkan untuk Pertalite agar ramah lingkungan, menurut Amin, Pertamina bisa menaikkan angka oktannya dari 90 ke 91 sesuai ambang batas ideal BBM sesuai standar Euro4. Jadi, harganya masih dibawah harga jenis Pertamax, agar lebih terjangkau masyarakat kelas menengah bawah.
“Sesungguhnya, akar masalah utamanya bukan sekedar jenis BBM. Jika ingin menurunkan pencemaran udara, perbaiki transportasi publik agar nyaman dan aman. Jadi penggunaan kendaraan pribadi akan jauh berkurang,” tegasnya.
Politikus PKS ini juga meminta pemerintah membuktikan bahwa kampanye transportasi publik yang nyaman dan juga penggunaan kendaraan listrik bukan sekedar live services. Selain itu, pemerintah harus menciptakan iklim yang membuat masyarakat beralih menggunakan kendaraan listrik, baik roda dua maupun roda empat.
“Jika ingin mengurangi pencemaran lingkungan, seharusnya menyelesaikan akar persoalannya, bukan kebijakan tambal sulam,” tegasnya.
Amin kembali menegaskan urgennya menyediakan layanan transportasi publik yang memadai dan terkoneksi dengan kawasan industri dan perkantoran. Hal itu untuk mendorong masyarakat berbondong-bondong menggunakan transportasi massal.
Bagi Amin, tingginya pencemaran udara tinggi tidak hanya disebabkan oleh sektor tranportasi. Namun juga sektor industri dan pembangkit listrik yang ada saat ini masih jauh dari kata ramah lingkungan.
“Secara teknologi, saat ini sudah tersedia pembangkit listrik biomassa yang memanfaatkan limbah biomassa. Secara bertahap PLTU Batubara harus memanfaatkan teknologi co-firing dengan memanfaatkan biomassa yang ramah lingkungan dan berbiaya murah,” pungkasnya.
Discussion about this post