Kronologi, Jakarta – Ombudsman RI (ORI) menemukan banyak terjadi malaadministrasi di pemerintah pusat maupun daerah terkait tata kelola tenaga honorer. Bahkan, ada kelalaian administratif berlapis yang dilakukan.
“Yang menjadi fokus Ombudsman bahwa kebijakan dan tata kelola tenaga honorer itu menjadi masalah. Cukup banyak malaadministrasinya,” ujar Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, dalam keterangannya, Selasa (28/12/2021).
Robert menjelaskan, kajian sitemik Ombudsman menghasilkan bahwa malaadministrasi itu meliputi aturan status honorer, perekrutan tanpa standar baku yang jelas untuk memenuhi kebutuhan pegawai, standar pengupahan bagi honorer nihil. Akibatnya, terjadi perbedaan antara di pusat dan daerah, nyaris semua honorer tak mendapatkan jaminan sosial.
Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki perencanaan penganggaran pengembangan kompetensi honorer, dan ketidakadaan jaminan pascakerja.
Oleh karenanya, Ombudsman memberikan empat opsi saran perbaikan kebijakan tata kelola tenaga honorer.
Pertama, mengalihkan tenaga honorer menjadi aparatus sipil negara (ASN) sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Hal agar pemerintah segera merumuskan kebijakan afirmatif pengalihan secara administrasi, baik pendataan, pemberkasan, verifikasi, dan validasi tenaga honorer ke ASN.
Kedua, memperlakukan tenaga honorer selayaknya karyawan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Caranya dengan merumuskan kebijakan pengupahan berdasarkan skala dan struktur upah bagi honorer yang bekerja di atas satu tahun dan standar UMR di daerah yang bersangkutan bagi honorer yang bekerja kurang dari satu tahun.
Kemudian, pemerintah memberikan perlindungan berupa jaminan sosial kesehatan ataupun ketenagakerjaan kepada tenaga honorer sebagai peserta penerima upah (PPU) serta memperhatikan kelayakan hubungan pascakerja dengan membuat kebijakan terkait (jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan pesangon).
Ketiga, melakukan penghapusan bersyarat tenaga honorer dengan menyusun peraturan presiden (perpres) soal pemberhentian semua tenaga honorer di seluruh kementerian/lembaga dan daerah hingga masa transisi pada 2023 sesuai PP Nomor 49 Tahun 2018.
ORI pun meminta agar perpres tersebut memuat ketentuan Pasal 96 ayat (1) PP 49/2018 yang melarang PPK atau pejabat lain mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPK untuk mengisi jabatan ASN. Kemudan, memberlakukan pengendalian dan pengenaan sanksi fiskal dan administrasi terhadap PPK atau pejabat lain yang masih mengangkat honorer.
Terakhir, membiarkan dan melanjutkan segala proses yang lazim terjadi (do nothing). Namun, Ombudsman lebih menganjurkan pemerintah memberlakukan honorer selayaknya karyawan dengan meminta DPR merevisi UU ASN untuk mengakomodasi keberadaan honorer sebagai salah satu pegawai pemerintahan.
Penulis: Tio
Discussion about this post