Oleh: Khairul Anom
(Mantan Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI)
Saya mampir ke Gramedia Matraman, sekitar tahun 2006. Di sana ketemu buku bagus dan tebal: tentang konglomerasi orang Tionghoa. Saya paksakan membeli meski kantong cekak. Pulangnya saya main ke kantor percetakan Mas Dani di Tanjung Barat.
Di lantai ruang kerjanya, saya melihat beberapa buku yang baru dicetak berserak, buku yang sama dengan yang saya beli tadi. “Itu sisa cetakan yang rusak, ambil saja kalau mau,” kata Mas Dani. Saya tepok jidat menyesali uang yang melayang.
Mahya Ramdhani, orang kerap melekatkan namanya dengan bisnis percetakan dan penerbitan media. Sekitar tahun 2003, ia adalah orang yang gigih menghidupkan lembaga pers di Himpunan Mahasiswa Islam. Sebagai Ketua Bakornas Lapmi, ia banyak mengenalkan kepada kami, anak anak daerah yang baru datang ke Jakarta, tentang bagaimana penerbitan media dan buku dikelola dengan profesional.
Mas Dani pintar cari uang, karena itu ia menjadi tempat kami bertanya sekaligus meminta. Ia orang yang antusias, sekalipun gaya bicaranya seperti orang malas. Untuk ukuran kami, ia banyak tahu tentang sepak terjang bisnis media di Jakarta, termasuk juga politik.
Saya suka mendengarkan ia cerita, di masa ketika belum ramai sosial media dan informasi hanya milik mereka yang punya kenalan orang-orang penting. Saya juga heran kenapa ia punya banyak kenalan tokoh, padahal ia bukan orang yang suka mendekat-dekat cari kenalan.
Mungkin karena ia bisa diandalkan di profesi yang ia tekuni. Ia selalu menyindir kami untuk menguasai hal-hal teknis, di tengah kebiasaan kami mengobrolkan ide ide besar yang terkadang “kebesaran”. Kepada saya yang menyukai desain grafis, ia paksa untuk membeli buku pantone yang mahal, dari uang yang ia beri. Ia gemar mengajak saya ke daerah pramuka, untuk melihat bagaimana orang orang percetakan bekerja.
“Negeri ini, setengahnya dikelola di Pramuka,” katanya. Ia membanyol tentang daerah itu yang terkenal dengan pasar gelap pemalsuan dokumen negara.
Dia selalu percaya bahwa orang Indonesia mudah ditipu, kecuali Soeharto. Suatu ketika kami pernah mengerjakan media online yang didanai Hutomo Mandala Putra.
Dalam presentasi, kami dicecar habis soal rencana anggaran hingga detail pembelian barang. Ketika peluncuran media itu, hampir semua pers memberitakan dengan narasi besar: Tommy Soeharto kini terjun ke bisnis media, dia bisa menjadi ancaman bagi konglomerat seperti Hari Tanoe dan Surya Paloh. “Tuh, kan. Kena tipu?” kata Mas Dani ketawa.
Mas Dani punya hobi ngobrol lama, dan dia bukan lawan yang membosankan. Ia bukan tipe self centered, bukan pula ekspresionis. Kalaupun ia ingin cerita sesuatu yang istimewa tentang dirinya, ia ceritakan saja tanpa pretensi apa-apa.
Mas Dani juga suka makan yang enak-enak. Ia kerap mengajak saya mengunjungi tempat-tempat kuliner kesukaannya. Mulai dari Mie Ayam kaki lima, sampai restoran sop iga.
Ia pernah cerita, suatu saat keranjingan dengan bebek goreng. Setiap hari sepulang kantor, dia selalu mampir ke kedai bebek langganannya itu. Hingga akhirnya ia merasa tubuhnya gawat dan pergi ke dokter. Dokter memeriksa sambil geleng-geleng mendengar pengakuannya. Sebelum berpisah, ia bertanya kepada si dokter: “Dok, kapan saya bisa makan bebek lagi?”
Dini hari tadi, ramai di grup WA orang mengabarkan ia telah berpulang di RS UNS Solo. Banyak orang yang merasa kehilangan dan berduka. Termasuk saya yang tak tahu harus bagaimana mengungkapkan kesedihan dan penyesalan yang mendalam itu.
Jakarta, 26 Februari 2021
Discussion about this post