Kronologi, Jakarta – Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrwati membahas Lembaga Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund atau SWF) yang telah resmi tercantum dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Anggota Komisi IX DPR Anis Byarwati mengingatkan Menkeu akan resiko yang dimiliki oleh negara penerima investasi yang tercermin dari munculnya kekhawatiran-kekhawatiran mengenai dampak politis yang kemungkinan muncul atau sengaja dibawa oleh negara investor SWFs.
“Kekhawatiran ini sendiri timbul dikarenakan dua hal utama, yaitu: pada kenyataannya dikontrol oleh entitas nasional dan bukan investor swasta dan jumlah entitas yang terlibat relatif kecil,” kata Anis dalam keterangannya, Selasa (26/1/2021).
Sovereign Wealth Fund sendiri merupakan istilah baru dalam kancah perekonomian Indonesia. Menurut Investopedia, SWF adalah badan pengelola dana investasi yang dimiliki oleh negara.
Dana yang mereka kelola bisa berasal dari cadangan devisa milik bank sentral negara tersebut, akumulasi surplus perdagangan maupun surplus anggaran, dana hasil privatisasi, maupun penerimaan negara dari ekspor sumber daya alam.
Sementara, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mendefinisikan SWF sebagai kendaraan finansial yang dimiliki negara, yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam. Fungsi SWF adalah untuk stabilisasi ekonomi, terutama meningkatkan investasi dan tabungan masyarakat.
Dua hal tersebut kemudian menyebabkan timbulnya kekhawatiran penggunaan SWFs sebagai salah satu bentuk soft power, dimana SWFs merupakan strategi pengambilalihan dalam mengejar tujuan nasional di negara penerima investasi. Kekhawatiran ini semakin diperburuk dengan kurangnya transparansi dalam pengoperasian pengelolaan dana tesebut oleh negara investor.
“Kementerian Keuangan dan kementerian BUMN harus benar-benar siap menghadapi resiko bawaan berupa soft power dari investor SWF, yang akan dihadapi indonesia sebagai negara penerima investasi melalui LPI,” ujarnya.
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS ini juga mengingatkan Menkeu dan Menteri BUMN untuk waspada mengenai beberapa isu negatif tentang SWF yang dikemukakan berbagai peneliti.
Diantara isu negative tersebut antara lain: semakin besar dana yang mereka kelola akan semakin besar dampaknya pada pasar keuangan dunia, adanya kepemilikan oleh pemerintah asing di perusahaan-perusahaan nasional membuat banyak orang mengkhawatirkan masalah keamanan nasional karena motif investasi mereka seringkali dikhawatirkan memiliki tujuan politik yang terselubung serta transparansi laporan hasil kinerja mereka sangat buruk.
Selanjutnya, berdasarkan laporan dan pernyataan dari OECD, terdapat resiko proteksionisme mengancam ekonomi dunia dan SWF. Sehingga dalam prakteknya baik dari sisi investor maupun investee, terdapat dua prinsip yang harus dipenuhi, yaitu prinsip non discrimination dan prinsip transparency.
Jika hal tersebut dapat tercapai, maka ekonomi internasional akan semakin terintegrasi dengan semakin berkembang dan intensnya arus modal internasional yang aman dan menguntungkan bagi semua pihak, baik pemilik maupun penerima modal.
“Sebagai ‘pemain baru’ dalam SWF, Indonesia perlu menyiapkan berbagai hal untuk memenuhi prinsip-prinsip tersebut, khususnya prinsip transparansi,” tegasnya.
Terakhir, Anis menyampaikan bahwa berdasarkan karateristiknya, SWF memiliki ciri-ciri, yaitu: sovereign, High foreign currency exposure, No explicit liabilities, High risk tolerance dan Long investment horizon.
“Kementerian Keuangan harus bisa menjelaskan kelima karakterisitk tersebut dengan SWF yang potensial akan diterima Indonesia,” katanya.
“Kemenkeu juga harus memiliki kajian, dalam kurun waktu berapa lama SWF dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Disertai mitigasi resiko yang muncul dengan adanya SWF, sehingga Kemenkeu bisa merumuskan Langkah-langkah strategis penanggulangannya,” tukasnya.
Penulis: Tio
Discussion about this post