Kronologi, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam aksi intoleransi dan pelanggaran HAM yang terjadi pada siswi nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang, Provinsi Sumatera Barat.
Menurut Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti, kasus yang viral di medsos itu tidak akan terjadi bila pihak sekolah memahami aturan dalam Permendikbud 82/ 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Aturan itu dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Di samping menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan.
“Peraturan ini seharusnya digunakan sebagai acuan atau panduan dalam menangani kasus yang terjadi di SMKN 2 Kota Padang, Sumatera Barat,” kata Retno dalam keterangannya, Sabtu (23/1/2021).
Merespons kasus siswi non-muslim diwajibkan berjilbab di SMKN 2 Padang, KPAI memberikan lima rekomendasi.
Pertama, pihak sekolah diduga kuat melanggar UU 35/ 2014 tentang Perlindungan Anak, UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU 39/1999 tentang HAM.
Ketentuan dalam berbagai peraturan perundangan tersebut menurut Retno, bisa dipergunakan karena pihak sekolah telah membuat aturan sekolah yang bersifat diskriminatif terhadap SARA.
Menurut Retno, aturan itu mengakibatkan adanya peserta didik yang berpotensi mengalami intimidasi. Karena, dipaksa menggunakan jilbab padahal siswi tersebut bukan seorang muslim.
Oleh karena itu, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Sumbar untuk memeriksa Kepala SMKN 2 Kota Padang dan jajarannya dengan Permendikbud 82/2015 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dan mengacu pada peraturan perundangan apa saja yang dilanggar pihak sekolah.
“Pemberian sanksi walaupun hanya surat peringatan menjadi penting, agar ada efek jera,” tegasnya.
Kedua, KPAI juga mendorong dinas-dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk mengingatkan kepada stakeholder pendidikan di wilayahnya, terutama kepala sekolah dan guru untuk menjadikan kasus SMKN 2 Padang ini sebagai pembelajaran bersama sehingga tidak terulang lagi.
Ketiga, KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI untuk meningkatkan sosialisasi Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, secara masif ke dinas-dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
“Kemudian dilanjutkan sosialisasi kepada kepala-kepala sekolah di berbagai jenjang pendidikan di seluruh wilayahnya,” ujarnya.
Keempat, KPAI mendorong adanya edukasi dan pelatihan-pelatihan kepada para guru dan kepala sekolah untuk memiliki perspektif HAM, terutama pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak peserta didik.
Sebab, ketika sekolah memiliki kebijakan memperkuat nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai persatuan, menghargai perbedaan, maka peserta didik akan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima, KPAI mengapresiasi para orang tua peserta didik untuk berani bersuara dan mendidik anak-anaknya juga untuk berani bersuara ketika mengalami kekerasan di sekolah. Baik kekerasan fisik, kekerasan seksual maupun kekerasan fisik.
“Salah satu cara menghentikan kekerasan adalah dengan bersuara,” tukasnya.
Penulis: Tio
Discussion about this post