Kronologi, Jakarta – Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, mendesak pemerintah menyelesaikan kebingungan pelaku usaha terkait klausul perizinan berusaha di sektor minyak dan gas bumi (migas), yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
“Ini penting dituntaskan agar target lifting migas yang 1 juta barel per hari tidak terbengkalai akibat investor mundur atau ragu atas ketidakpastian hukum di sektor migas ini,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Mulyanto menilai, isi pasal 5 ayat (1) dalam UU No. 11/2020 yang menyebutkan bahwa kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, berbeda dengan isi pasal UU Migas yang saat ini masih berlaku.
“Pasal ini membingungkan, karena pada prakteknya sekarang ini kegiatan usaha hulu migas diatur melalui mekanisme kontrak kerja sama. Baik melalui skema cost recovery maupun gross split,” tuturnya.
Jika saat melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja pengaturan kegiatan usaha hulu migas mendadak diubah menjadi mekanisme perizinan, menurut Mulyanto, akan menyebabkan kebingungan bagi pelaku usaha migas.
Apalagi, hingga saat ini masih berlaku rezim “kontrak kerja sama” antara pelaku usaha hulu migas dengan pemegang kuasa migas melalui SKK Migas. Bukan rezim perizinan.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menguraikan, Pasal 1 angka (19) UU. No. 22/2001 tentang Migas yang mengatur ketentuan bahwa Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, masih berlaku.
Termasuk PasaI 6 ayat (1) mengatur ketentuan, bahwa Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam PasaI 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.
Berbeda halnya dengan pertambangan mineral dan batubara (minerba), melalui UU No. 4/2009 tentang Minerba jo. UU No.3/2020 “rezim kontrak” telah diubah menjadi “rezim perizinan” yang memuat segala pengaturan rinci terkait perizinan tersebut, termasuk pasal peralihan dari kontrak karya menjadi mekanisme perizinan.
Oleh sebab itu, Ia mengingatkan pemerintah agar tidak serampangan menyamakan semua nomenklatur pengaturan usaha migas dalam terminologi Perizinan Berusaha. Karena hakekat ‘kontrak kerja sama’ dengan ‘perizinan’ sangat berbeda. Yang pertama menempatkan antar pihak secara sejajar, yang kedua menempatkan pihak pemberi izin lebih tinggi dari penerima izin.
“Ini perlu diperjelas duduk perkaranya dalam rencana Revisi UU. No. 22/2001 tentang Migas untuk memberi kepastian hukum bagi para investor,” pungkasnya.
Penulis: Tio
Discussion about this post