Kronologi, Jakarta — Sosok Habib Rizieq Shihab (HRS) belakangan menyedot perhatian publik sejak sepulangnya ke Indonesia, Selasa (10/11/2020) pekan lalu.
Kontroversi demi kontroversi menyelimuti Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut, termasuk soal munculnya kerumunan dalam setiap kegiatan yang digelarnya.
Bahkan, dua Kapolda dan dua Kapolres dicopot dari jabatannya karena dianggap lalai dalam menegakkan protokol kesehatan, diduga terkait dengan kerumunan yang muncul dalam kegiatan HRS baik di DKI Jakarta maupun di Bogor, Jawa Barat.
Kepala daerah di dua provinsi itu pun tak lepas dari sorotan. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diperiksa oleh Polri. Sementara Gubernur Jabar juga disorot karena dianggap tumpul dalam menertibkan kerumunan di masa pandemi Covid-19.
Pakar Hukum dan Pemerintahan Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Asep menilai, tak mudah menangani kerumunan massa pengikut dan simpatisan HRS. Sebab, kerumunan tersebut tidak jelas siapa penanggung jawabnya.
Mereka, kata Asep, bergerak atas dasar fanatisme kepada seorang ulama dan habaib, bukan hadir atas sebuah undangan.
“Sulit, saya kira sulit karena mereka fanatik. Beda halnya dengan pendukung pilkada karena jelas siapa penanggung jawabnya. Kalau mereka, siapa yang bisa dipegang,” kata Asep kepada wartawan, Selasa (17/11/2020).
Dia kemudian menyoroti hierarki dalam pemerintahan, yang menjadi batasan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengambil keputusan.
“Setiap pemerintahan berbeda kewenangannya, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota berbeda-beda kewenangannya,” ujar Asep.
Ia menilai terkait kasus kerumunan kegiatan HRS tersebut, semua pihak tidak boleh asal saling tuding. Termasuk menyalahkan pemerintah daerah.
“Jadi, jangan ujug-ujug bilang gubernur bersalah, bupati atau wali kota bersalah, apa dasarnya? Jangan asal menyalahkan,” tegas Asep.
Setidaknya, kata Asep, dalam menyikapi setiap perbuatan yang diduga melawan hukum perlu dilakukan kajian yang menyeluruh.
Menurutnya, ada lima faktor yang harus diperhatikan mengenai siapa pelaku, aturan apa yang dilanggar, apa akibatnya, bagaimana pertanggungjawabannya dan solusinya.
“Misalnya Gubernur Jabar dituduh bersalah membiarkan kerumunan terjadi (di Bogor). Maka, mewakili Presiden, Kemendagri dapat membentuk tim dan melibatkan pihak-pihak terkait untuk mendapatkan pembuktian apakah Gubernur Jabar bersalah atau tidak,” katanya.
Editor: Alfian Risfil A
Discussion about this post