Oleh: Tofan Mahdi
~Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007) dan Direktur Pemberitaan SBO TV (2008-2009)~
Semakin hari, saya semakin prihatin dengan kualitas produk jurnalistik dari pers Indonesia. Bukannya membangun fondasi untuk melawan arus besar informasi sosial media yang tidak tentu arah, dunia pers seperti terseret arus informasi di sosial media. Padahal sosial media dan pers adalah dua entitas yang sama sekali berbeda. Sosial media adalah platform komunikasi yang bebas dan cenderung tanpa kontrol. Sedangkan pers terikat dengan UU Pers, Kode Etik Wartawan Indonesia, dan pedomannya merujuk pada arahan Dewan Pers.
Kebebasan pers berbeda dengan kebebasan komunikasi dan informasi di sosial media. Kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Pers memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan informasi yang objektif, edukatif, dan menjadi sarana kontrol sosial. Sebuah produk jurnalistik boleh saja menghibur tetapi tetap berperdoman pada kode etik jurnalistik dan juga patut dipertimbangkan apakah sebuah informasi yang dibagikan memberikan manfaat kepada pembacanya. Sebuah produk jurnalistik juga harus bebas dari unsur SARA, terorisme, ujaran kebencian, dan konten berbau pornografi.
Sementara itu meskipun platform sosial media yang berbasis teknologi digital juga dibatasi dalam koridor seperti diatur dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), produk informasi di sosial media lebih bebas dan tanpa kontrol. Jika sebuah produk jurnalistik kontrolnya adalah pada tim redaksi media yang bersangkutan, yang menjadi kontrol dan filter dari sebuah produk informasi di sosial media adalah audience. Dalam konteks sosial media, pertanyaan besarnya adalah, apakah audience yang beragam baik dari sisi usia dan tingkat pendidikan itu bisa melakukan self control atas sebuah produk informasi di sosial media? Saya yakin tidak. Dan hasilnya seperti yang bisa kita lihat dalam dinamika sosial media di Indonesia saat ini.
Daster Melorot
Media cetak, media online, berita di televisi termasuk infotainment adalah entitas pers dan informasi yang dihasilkan adalah sebuah produk jurnalistik. Jadi teman-teman yang bekerja pada bidang tersebut memilki tanggung jawab sebagai kontrol sosial dan memiliki tanggung jawab untuk ikut mencerdaskan masyarakat. Di tengah arus besar informasi sosial media yang sangat masif dan tak terbendung sekarang, jurnalisme harus menjadi benteng, oase, dan “the last resort” bagi masyarakat untuk tetap mendapatkan informasi yang sehat. Apakah informasi yang sehat itu? Informasi yang kredibel, informatif, edukatif, entertaining tapi tetap sarat makna dan pesan moral, dan inspiring. Jurnalistik adalah benteng terakhir melawan arus informasi sosial media yang bebas dan tanpa batas.
Mengutip guru saya Bapak Dahlan Iskan, media cetak dan media konvensional lain boleh mati. Tetapi jurnalisme harus tetap hidup dan menjadi ruh sampai kapanpun dan dalam platform komunikasi apapun. Termasuk ketika sosial media menjadi arus utama dan rujukan pertama masyarakat dalam mencari informasi, jurnaslisme harus tetap dihidupkan dalam platform komunikasi digital.
Sayangnya, teman-teman saya di industri pers tidak tahan godaan. Tidak tahan untuk lebih lama mempertahankan ruh jurnalistik, malah semakin hari semakin terbawa arus sosial media. Yang viral di sosial media kemudian menjadi konten dalam produk pers terlepas dari apakah konten yang viral tadi memenuhi unsur aktualitas, informatif, edukatif, kontrol sosial, dan mungkn menghibur namun tetap tidak melepaskan aspek-aspek sebelumnya.
Banyak sekali contoh atas hal ini. Namun saya akan memberikan satu contoh berita yang lagi viral di sosial media bertepatan dengan perayaan 75 tahun Indonesia merdeka. Berita apa itu? Berita tentang melorotnya daster seorang wanita yang cukup populer namanya Vanessa Angel saat memasang lampu di rumahnya. Informasi ini kali pertama muncul di akun Instagram pribadi Vanessa Angel dan kemudian viral di berbagai platform sosial media.
Tidak ada yang salah dengan postingan Vanrssa Angel di IG dia tersebut. Sah-sah saja dan tidak merugikan siapapun. Mungkin cukup menghibur buat bapak-bapak. Tetapi eloknya konten tersebut cukup ada di sosial media tidak perlu menjadi berita di media pers. Konten ini tidak layak disebut sebagai produk jurnalistik karena banyak hal yang tidak dipenuhi. Menghibur? Bagi bapak-bapak mungkin menghibur, bagi emak-emak mungkin muak. Bagi anak-anak mungkin juga bukan sebuah konten yang pantas dan mendidik untuk dilihat.
Saya memahami alasan teman-teman pers memuat konten tersebut sebagai berita: karena viral. Seperti dikutip di salah satu media online, dalam dua jam video daster melorot tersebut ditonton 400 ribu orang. Iya memang viral di sosial media. Dan teman-teman pers yang memuat konten tersebut berpikir jika berita tersebut dimuat juga akan banyak yang membaca. Semakin banyak yang membaca akan meningkatkan ranking website di Alexa dan mungkin akan kecipratan Google AdSense. Jika benar demikian alasannya, teman-teman telah tersesat jauh. Cara berpikirnya terlalu sempit dan teman-teman telah meninggalkan ruh jurnalistik. Kasihan masyarakat kita dan di masa mendatang pers akan semakin tidak dipercaya.
Kita Harus Bagaimana?
Tentang sosial media ini, adalah sebuah fenomena baru yang harus didiskusikan dengan panjang dan dalam. Di mana peran pemerintah? Bagaimana tanggung jawab penyedia platform? Bagaimana mencerdaskan masyarakat agar semakin selektif memilih informasi di sosial media? Banyak hal yang menarik didiskusikan. Poinnya, sosial media adalah juga sebuah pabrik informasi dan seharusnya tidak bisa lepas dari prasyarat dan syarat bagaimana seharusnya sebuah informasi sebelum dibagikan ke publik.
Saya sedang meminta waktu untuk bisa menbahas hal ini dengan Bapak M. Nuh, Ketua Dewan Pers, di kanal Youtube: Tofan Mahdi Channel. Tentu banyak masukan yang menarik dan konstruktif dari beliau bagaimana arus informasi sosial media ini harus dibatasi.
Sebelum semuanya bisa diatur menjadi lebih baik, yang bisa kita lakukan sekarang ada dua. Pertama, teman-teman pers harus bisa dan kuat menahan diri untuk tidak sekadar mengutip konten yang viral di sosial media untuk dijadikan sebuah berita (produk pers). Kecuali konten yang viral tersebut sarat informasi, edukatif, inspiring, dan bisa menjadi kontrol sosial. Kedua, melakukan literasi di masyarakat agar lebih cerdas dalam memilih informasi. Bukan hanya hoax yang harus dilawan, tetapi juga konten-konten yang tidak bermutu dan kontraproduktif juga harus dilawan. Tentu perjuangan yang panjang. Tetapi ingat kita adalah wartawan dan memegang tanggung jawab moral untuk mencegah agar masyarakat tidak sesat informasi semakin dalam.
Semoga bermanfaat dan selamat menikmati akhir pekan yang panjang. ([email protected])
Cibubur, 20 Agustus 2020
Discussion about this post