Kronologi, Jakarta — Alat pemeriksaan rapid test Corona di Indonesia masih didominasi oleh produk impor. Harga impor alat rapid test hanya sekitar US$ 3 atau Rp 45.000 (kurs Rp 15.000/US$).
Namun, selama ini masyarakat dipatok harga atau biaya rapid test dengan tarif tantastis. Termasuk warga yang hendak bepergian dimana mereka diwajibkan melakukan rapid test mandiri dengan biaya beragam. Mulai dari 350 ribu hingga 500 ribu lebih.
“Anda tahu harga impor berapa? Harga impor US$ 3 (satu rapid test). US$ 3 dolar tuh berapa sih Rp 43.000, itu harga impornya. Memang turun terus harganya US$ 4, US$ 3, US$ 2,5, anggap saja US$ 3 anggap Rp 45.000 deh,” ungkap Pengamat Kesehatan Vincent Harjanto kepada wartawan, Kamis (9/7/2020).
Sekjen Gabungan Alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab), Randy Teguh mengatakan impor alat rapid test yang seharga US$ 3 sampai US$ 5 belum termasuk pajak dan pembiayaan pemeliharaan saat berada di gudang. Sehingga sebelum dijual ke RS, pihaknya harus memperhitungkan biaya pemeliharaan tersebut.
“Harus dihitung berapa pembiayaan gudang, apakah produk tersebut harus ditaruh di gudang yang suhunya terkontrol, itu semua ada biaya. Gudang harus kita pastikan bersih, jadi harus ada test controlnya, kita harus pastikan tidak lembap atau harus ada kontrol kelembapan itu biaya-biayanya ada. Belum lagi kalau alkes harus ada pelatihan kepada perawat, pelatihan kepada dokter, itu ada biaya-biaya. Semua itu baru biaya mencukupi untuk operasional sebagai pengusaha alkes,” urainya.
Dengan harga alkes yang dijual selama ini ke pihak RS, Randy mengklaim telah menyesuaikan harga dengan memperhitungkan biaya pemeliharaan tersebut.
“Dari kami itu memang sudah mengeluarkan SE kepada seluruh anggota bahwa dalam masa pandemi kita harus berlaku sebagai pelaku usaha yang bertanggung jawab, profesional dan berintegritas. Bagi kami yang penting dari harga modal beli impornya ya kita tambahkan margin yang secukupnya untuk kita jual yang penting biaya-biaya tertutup,” ujarnya.
Misalnya saja dari pengusaha menjual alat rapid test ke RS seharga Rp 65.000, pihak RS masih harus menghitung biaya lainnya saat melakukan rapid test ke pasien seperti Alat Pelindung Diri (APD), hingga jasa perawat.
“Kita jual ke RS dan memang petugasnya sendiri perlu pakai APD, katakan APD Rp 200.000 itu berarti sudah Rp 265.000 ditambah mungkin kita harus hitung jarum suntik, plester katakan Rp 10.000 berarti Rp 275.000, mungkin ada biaya untuk gaji perawat, pembayaran utilitasnya listrik, AC, mungkin Rp 350.000 sampai Rp 400.000 sih bisa jadi,” katanya.
Salah satunya di RS bilangan Jakarta Timur, Kamis (9/7/2020), dimana biaya rapid test dipatok senilai Rp 425.000. Dengan biaya tersebut, pasien hanya diambil darahnya dan mendapat hasil apakah dia positif atau negatif COVID-19 dengan menunggu 2-3 jam.
“Untuk rapid test biayanya sekitar Rp 425.000. Itu cuma satu harga Rp 425.000. (Pemeriksaan) rapid test cuma diambil darah itu,” kata Petugas Registrasi RS, Alda.
Selain rapid test, RS tersebut juga menawarkan pilihan lain kepada pasien berupa paket test poli Orang Dalam Pemantauan (ODP). Dalam paket ini pasien dilakukan pemeriksaan fisik, laboratorium dan rontgen dada. Biaya yang ditawarkan lebih rendah yakni Rp 310.000.
“Nanti kalau dari hasil rontgen sama cek lab-nya ada indikasi ke COVID, baru akan dilakukan swab PCR,” ucapnya seperti dikutip dektikcom.
Editor: Alfian Risfil A
Discussion about this post