Megapolitan
Rachmat HS Sambut Baik Lahirnya Ormas Baru ‘Bamus Suku Betawi 1982’

Kronologi, Jakarta — Wakil Ketua Umum Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, Rachmat HS menyambut baik dan sekaligus mengapresiasi atas terbentuknya oraganisasi masyarakat (ormas) baru yang mengatasnamakan Perkumpulan Badan Musyawarah Suku Betawi 1982.
Hal ini berdasarkan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Rupublik Indonesia No. ahu 0003133.AH.01.07 Tahun 2020 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan badan musyawarah Betawi 1982, yang ditetapkan pada tanggal 19 April 2020.
Dalam surat yang ditandatangani Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Cahya Rahardian M itu juga ditetapkan susunan pengurus perhimpunan yakni Zainudin (Haji Oding) sebagai Ketua Umum, Anwar sebagai Ketua Harian, Muhamad Ihsan sebagai Sekretaris Jenderal, dan Budi Chaemansyah sebagai Bendahara Umum.
“Kami menyampaikan syukur alhamdulillah, ormas baru Haji Oding sudah resmi terbentuk. Kami apresiasi dan mengucapkan selamat,” kata Rachmat HS dalam keterangannya kepada wartawan, Jakarta, Senin (29/6/2020) malam.
Menurut Rachmat, kini makin banyak organisasi Betawi yang akan tampil memperjuangkan kemaslahatan dan kemajuan orang Betawi. “Mudah-mudahan kita bisa bersinergi,” katanya.
Rachmat mengatakan, setiap warga boleh membuat organisasi apapun untuk memajukan masyarakat. Hal ini dijamin Undang-undang (UU) dalam rangka berserikat dan berkumpul.
Ketika ditanya mengenai perbedaan dengan Bamus Betawi yang dipimpin Abraham Lulung Lunggan (Haji Lulung), Rachmat menjawab santai. Menurutnya, dari nama saja jelas berbeda sama sekali.
“Beda, sangat berbeda. Dari nama organisasi saja beda nama, pengurus beda dan pengesahan KumHam-nya pun berbeda. Bamus Betawi dibawah Pimpinan Haji Lulung Ketua Umum dan Haji Nuri Taher sebagai Ketua Majelis Adat adalah Bamus Betawi hasil Mubes 1 September 2018, yang tertulis dan terbaca jelas dalam Perda 4/2015 sebagai mitra sah Pemprov DKI dalam menjalankan program pelestarian dan pengembangan Budaya Betawi dan tertulis di tetapkan April 2019 oleh KumHam sedang Bamus Suku Betawi 1982 di tetapkan april 2020, beda satu tahun kan, lebih dulu kita jadi sangat beda,” Rachmat menjelaskan.
Namun demikian, Rachmat berharap, mudah-mudahan semangatnya sama yakni memajukan masyarakat Betawi di Jakarta.
“Apalagi pengurusnya saudara-sudara kita sendiri, sesama orang Betawi yang sehari-harinya berbudaya Betawi karena ada juga yang ngaku orang Betawi tapi sehari-harinya kehidupannya jauh dari budaya Betawi yang santun, egaliter dan agamis,” ujarnya.
Karena itu, dia pun berharap organisasi yang dimotori Zainudin alias Haji Oding dan Sekjen M.Iksan itu dapat membina dan ikut serta dalam melestrikan budaya Betawi di Jakarta.
Senada, Tokoh Betawi sekaligus Ketua FKDM DKI, Munir Arsyad, ikut menyambut baik lahirnya organisasi baru yang bernama Badan Musyawarah Suku Betawi 1982.
Munir berharap, ormas baru ini akan ikut bergabung dalam naungan Bamus Betawi pimpinan Abraham Lunggana (Haji Lulung), sehingga semakin melengkapi dan memperkuat organisasi masyarakat Betawi ke depan.
“Alhamdulillah… Bamus Betawi nambah satu lagi anggotanya, jadi pas itu Ormas yang di Bamus Betawi Jadi 99 organisasi. Asmaul Husna,” tulis Munir melalui pesan WhatsApp, Senin (29/6/2020).
Dengan terbentuknya organisasi baru tersebut, maka tidak ada lagi istilah dualisme kepengurusan Bamus Betawi, karena Bamus Betawi adalah wadah berhimpunnya ormas-ormas Betawi se-Jakarta.
Hal ini sebagaimana diatur dan diakui Pemprov DKI tentang pelestarian budaya Betawi melalui Perda Provinsi DKI Jakarta nomor 4 tahun 2015. Perda ini kemudiam melahirkan Pergub Nomor 229 tahun 2016 tentang penyelenggaraan pelestarian budaya Betawi.
Sebagaimana dikutip dari lampiran resmi surat keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Nomor SK: AHU-0004530.AH.01.07 Tahun 2019 tentang pengesahan pendirian Badan Hukum perkumpulan Badan Musyawarah Bamus Betawi, Kepengurusan Bamus Betawi periode 2018-2023 adalah dipimpin Ketua Adat Bamus Betawi Haji Nuri Thahir dan Ketua Umum Abraham Lunggana.
Dalam surat tersebut menetapkan Abraham Lunggana alias Haji Lulung AL, sebagai Ketua Umum; Syarif Hidayatullah sebagai Sekretaris Jenderal; Djuli Zulkarnain sebagai Bendahara Umum; Nuri Thahir sebagai Ketua Majelis Adat; Bambang Sutjipto Syukur sebagai Sekretaris Majelis Adat.
Surat tersebut ditandatangani oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo Rahadian Muzhar pada tanggal 16 April 2019 tahun lalu.
Cikal Bakal Sejarah Betawi
Selama ini sudah sangat dikenal jika suku asli Jakarta adalah suku Betawi. Benarkan demikian?
Dikutip dari berbagai sumber, suku Betawi bisa dikatakan muncul agak belakangan atau sekitar abad -17 M. Jadi jauh sebelum muncul istilah Betawi sudah ada penduduk di wilayah yang kini dinamakan Jakarta.
Berbagai pendapat menyebutkan bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis dan bangsa pada masa lalu. Orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang dibawa atau didatangkan oleh Belanda ke Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia. Jadi orang Betawi itu bisa dikatakan sebagai pendatang baru di wilayah Jakarta waktu itu dari sebuah ‘asimilasi perkawinan’ atau proses terjadinya perkawinan campuran yang berbeda budaya, perilaku, dan golongan”.
Asimilasi perkawinan kemudian berkonsekuensi penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku antar suku atau etnik yang melangsungkan perkawinan tersebut. Sehingga istilah kesukuan di tanah Jakarta tidak lagi relevan.
Itulah sebabnya Jakarta sebagai ibu kota negara, juga disebut sebagai kota urban, dimana kehidupan masyakatnya telah banyak melakukan perkawinan asimilasi se-nusantara.
Mereka lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Arab, Tionghoa, dan India. Sehingga suku Betawi itu bisa dibilang berlatar belakang campuran banyak suku. Namun, kemudian mereka eksis dan berjuang bersama membangun Jakarta.
Nama-nama Kampung di Jakarta
Sejarah Jakarta dan Betawi bisa juga dilihat lewat nama-nama kampung yang tersebar di seluruh sudut Ibu Kota.
Kampung atau pemukiman di Jakarta menjadi wajah kearifan lokal antar budaya yang tercipta sejak zaman Belanda.
Sejak berdirinya Kota Jayakarta tahun 1527 silam, telah ada lebih dari seribu nama kampung hadir di Jakarta. Di mana dalam prosesnya, sebagian ada yang tinggal jadi kenangan dan berganti dengan nama baru.
Bahkan di tahun 1960, Jakarta juga mendapat julukan ‘Big Village’ atau kampung besar dikarenakan memiliki jumlah kampung yang jauh lebih banyak dari kotanya yang hanya terdiri dari 5 kota saat itu.
Pada peta Batavia antara tahun 1897-1910, diketahui ada sekitar 200 hingga 500 kampung. Jumlah dan nama kampung pun terus bertambah dan silih berganti seiring perkembangannya kini.
Sejarah kampung di Jakarta itu pun pernah dikupas tuntas dalam acara bertajuk ‘Pameran Toponomi Wall of Frame Sejarah Betawi’ di Pasar Seni Ancol dari tanggal 14 Juni – 17 Agustus 2018 di Gedung NAS, Jakarta (1/7/2018).
Turut hadir dalam diskusi tersebut Candrian Attahiyyat selaku Arkeolog Universitas Indonesia (UI) dan Abdul Chaer selaku ahli bahasa.
Diungkapkan oleh Abdul Chaer, kampung yang ada di Jakarta sedikit banyak tercipta karena penjajah Belanda yang banyak mendatangkan berbagai suku bangsa ke Batavia saat itu.
“Nama kampung ini sudah ada sejak VOC, soalnya dia mendatangkan suku bangsa ke Jakarta yang khusus,” ujar Abdul.
Misalnya saja kampung yang terdiri dari orang Bugis di Kelurahan Pejaringan, Kampung Arab di Pekojan, Kampung China di Glodok dan lain sebagainya.
Dalam prakteknya, tak sedikit juga kampung yang diberi nama sesuai karakteristik suatu tempat hingga geografisnya.
“Kampung Rambutan, Dukuh, diduga banyak rambutan atau dukuh. Di daerah bekas Sarinah itu kampung 5. Bekasi ada kampung 200, Kranji ada kampung 2,” ujar Abdul.
Ditambahkan oleh Candrian, setiap nama kampung memiliki arti hingga kearifan lokal yang tidak sembarangan. Ada riwayat juga di baliknya. Misalnya, mau tahu kenapa Bidaracina suka banjir?
“Dulu ada namanya Legok, sekarang daerah sekitar Bidaracina (Jakarta Timur). Legok itu artinya cekungan atau lebih rendah. Dinamain gitu karena rendah, dulu suka banjir,” ujar Candrian.
Pernah juga, Candrian dan timnya kala itu diberi mandat untuk memberi nama di daerah Kemayoran. Ia pun memilih nama tokoh Betawi Benyamin Sueb yang memang lahir tak jauh dari situ.
“Jadi nama baru. Jalan Benyamin Sueb, dulu runway. Tribut itu nggak jauh dengan lokasi Benyamin lahir,” jelas Candrian.
Dalam prosesnya, tak sedikit nama kampung di Jakarta yang mulai berubah. Candrian pun menjelaskan, bahwa perubahan nama kampung tak perlu dirisaukan. Namun, nilai dan kearifan lokalnya yang perlu dijaga.
“Bagi saya kehilangan sebuah kampung jangan dirisaukan banget, tapi perubahan budaya kultur kekerabatan, toleransi tinggi, kepedulian tinggi lalu hilang dengan suasana baru kampung susun. Jangan sampai seperti itu,” ujar Candrian.
Faktanya, tak sedikit kampung di Jakarta yang mulai berubah jadi rumah susun. Misalnya rumah susun Tambora yang ramai oleh korban kebakaran Tambora dan masih banyak lainnya.
Dinamika sejarah kampung Jakarta dan namanya itu pun sangat menarik untuk disimak sebagai bahan pembangunan di masa depan. Begitu juga dengan konteksnya dalam wisata sejarah Jakarta.
Editor: Alfian Risfil A
-
Regional2 hari ago
Jawaban Orang Tua Viecri soal Laporan Polisi Sopir Truk
-
Regional1 hari ago
Proyek Jalan GORR Pakai Material Timbunan Ilegal? Pengawas: Tanya Bos!
-
Megapolitan2 hari ago
Kongres MAPKB Diharapkan Jadi Momentum untuk ‘Merefresh Ulang’ Keluarga Besar Betawi
-
Regional2 hari ago
Sopir Truk di Gorontalo Lapor Polisi Usai Dianiaya 2 Pejabat
-
Nasional2 hari ago
MK Alami Degradasi Moral Sejak Anwar Usman Jadi Adik Ipar Jokowi
-
Regional6 hari ago
Hanasi: Upaya Pemerintah Untuk Lumbung Ternak di Daerah Belum Memuaskan
-
Nasional2 hari ago
Mega Minta Ganjar Tak Sungkan Akui ‘Petugas Partai’
-
Regional2 hari ago
Kemenkumham Gelar Anugerah Paralegal Justice Award sebagai Apresiasi ke Kades/Lurah