Opini
Mengapresiasi Iktiar Negara dalam Pengelolaan Dana Zakat

Pengelolaan zakat di Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 diatur dengan dua model, yaitu:
- BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), merupakan lembaga zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
- LAZ (Lembaga Amil Zakat), sebuah lembaga pengelola zakat yang diprakarsai masyarakat.
Untuk model yang pertama, pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur berbagai ketentuan mengenai pengelolaan zakat. Tetapi dalam pelaksanaannya, pemerintah lebih memosisikan diri sebagai regulator dan fasilitator dalam rangka memastikan bahwa pengelolaan zakat dilakukan dengan baik dan diperuntukkan demi kemaslahatan umat.
Sementara untuk model yang kedua, masyarakat memiliki wewenang yang besar untuk mengelola dana zakat, akan tetapi ia diharuskan berkoordinasi, melaporkan, dan siap dibina oleh pemerintah.
Hal ini menurut penulis merupakan satu bentuk atau sistem pengelolaan dana zakat yang ideal, sebab jika dikelola oleh Negara secara menyeluruh, maka peran serta masyarakat cenderung lemah, namun juga jika dipasrahkan seluruhnya kepada masyarakat, pengumpulan zakat pun tidak akan optimal.
Pengelolaan zakat oleh Negara menurut kaum sekularistik dinilai terlalu berlebihan, negara seolah menjadi pengatur dan penentu aktivitas ibadah seseorang. Sementara bagi golongan centered-state bersikukuh negara harus mengambil wewenang pengelolaan dana zakat secara menyeluruh guna tercapainya visi-misi zakat untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat. Perdebatan antara kedua kubuh ini sah-sah saja, namun menjadi kurang produktif jika diperhadapkan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang teramat memprihatinkan, yakni 24,79 juta rakyatnya hidup dalam lembah kemiskinan.
Jika kita melihat potret pengelolaan zakat diberbagai belahan dunia, tentunya kita akan menemukan bentuk yang berbeda-beda. Di Arab Saudi, Pakistan dan Sudan misalnya, memiliki regulasi yang ketat, undang-undang wajib zakat yang mengikat dan lengkap dengan institusi pengelolaannya. Sementara di negara Islam lain misalnya Yordania dan Kuwait, zakat dijalankan dengan penuh sukarela oleh masyarakat, tidak ada regulasi yang bersifat mengikat dan memaksa.
Indonesia dalam sistem pengelolaan dana zakatnya memilih caranya sendiri yang lebih merupakan “jalan tengah”, seperti yang telah penulis terangkan sebelumnya merupakan satu bentuk atau sistem pengelolaan dana zakat yang ideal, sebab menuntut keseriusan semua pihak tanpa terkecuali, baik itu negara dalam hal ini pemerintah maupun masyarakat.
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
Pasa15 ayat (3) UU Nomor 23/2011, mendeskripsi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai “lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri“. Yang dimaksud dengan nonstruktural disini adalah, BAZNAS tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian. Pengangkatan kepala lembaga BAZNAS dilakukan secara langsung oleh Presiden. Karena BAZNAS merupakan lembaga yang diprakarsai oleh pemerintah, pembiayaannya pun disediakan oleh pemerintah (anggaran negara). Pada umumnya, lembaga nonstruktural seperti ini berada di luar kekuasaan eksekutif yudikatif dan legislatif Keberadaannya berfungsi untuk penyeimbang bagi ketiga kekuasaan tersebut.
Positioning BAZNAS yang memiliki fungsi pengumpulan, pendistribusian, pendavagunaan, pelaporan dan pertanggung jawaban atas pelaksanaan pengelolaan zakat di Indonesia tak ubahnya seperti “holding company” yang syarat akan relasi sinergis dengan lembaga-lembaga formal pemerintah dibawahnya pun-lembaga zakat yang dibentuk ditatanan masyarakat.
Asep Saefudin Jahar (2008) berpandangan bahwa pengelolaan zakat model ini akan memudahkan pengelolaan zakat secara sinergis. Pada konteks yang lebih praktis, misalnya, lembaga pengelola zakat dapat bekerjasama dengan kementerian atau lembaga milik negara untuk secara mudah mengakses data muzakki (pembayar zakat) dan mustahik (penerima zakat). Data-data tersebut akan bermanfaat bagi pemetaan program dan skala prioritas distribusi zakat. Dalam kerangka inilah, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) diharapkan dapat memerankan fungsi tersebut.
Untuk meringankan beban dan memaksimalkan kerja BAZNAS pusat yang berkedudukan di ibukota, dalam mengatur pengelolaan zakat secara nasional dibentuklah BAZNAS ditingkatan Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk mengelola zakat dimasing-masing wilayahnya. BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota dibentuk dengan cara (1) BAZNAS Provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul Gubemur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. (2) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. (3) Jka gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS Provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
Kemudian untuk lebih memudahkan pengumpulan zakat pada entitas yang lebih kecil, serta meminimalisir penunaian zakat secara langsung (direct zakat) BAZNAS Provinsi dan Baznas Kabupaten/Kota dapat membentuk yang namanya UPZ atau Unit Pengumpulan Zakat. UPZ dapat dibentuk pada Instansi Perintah (organisasi perangkat daerah), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), perusahaan swasta, tingkat kecamatan, kelurahan, Masjid, Sekolah, Perguruan Tinggi, kelompok majelis taklim, dan lain sebagainya. Namun secara positioning UPZ lebih diarahkan pada kerja-kerja penghimpunan dana zakat bukan mengelola. Tapi, UPZ diberikan hak menyalurkan zakat maksimal 70 persen, dan 30 persen disetorkan ke Baznas Provinsi atau Kabupaten/Kota.
LAZ (Lembaga Amil Zakat)
Menurut UU Nomor 23/2011, untuk dapat menjadi LAZ setidaknya harus memenuhi prasyarat berikut (1) LAZ merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat. (2) Mampu melaksanakan fungsi pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. (3) Pembentukan LAZ harus mendapat izin Menteri atau pejabat yangditunjuk oleh Menteri. (4) Siap melakukan koordinasi dengan BAZNAS dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengelolaan zakat.
Selain itu ada kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi terkait standar kelembagaan LAZ diantaranya,
- Harus terdaftar sebagai organisasi kemasayarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Hal ini bertujuan agar LAZ dapat menonjolkan sifat nirlaba dan lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat melalui tiga bidang yang telah disebutkan sebelumnya.
- Berbentuk Badan Hukum. Hal ini erat kaitannya dengan mekanisme transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana zakat kepada publik.
- Mendapat Rekomendasi BAZNAS. Pembentukan LAZ harus mendapatkan rekomendasi BAZNAS selaku koordinator sesuai tingkatannya, apakah skala Provinsi atau Kabupaten/Kota. Dismping itu rekomendasi BAZNAS berguna sebagai pengetahuan awal tentang kelayakan dan kepatutan, baik secara hukum maupun sosial mengenai kapasitas untuk melakukan pengelolaan zakat.
- Mempunyai Pengawas Syariah. Yakni pihak yang mengkaji, meneliti, menilai dan memastikan pengelolaan dana zakat tidak akan bergeser dari ketentuan syariat. Baik itu ketentuan terkait muzakki (pembayar zakat), jumlah harta, haul, nishab dan asnaf.
- Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan. Seiring berkembangnya zaman prinsip administrasi modern harus dikuasai guna menjamin terlaksananya akuntabilitas dan transparansi kepada publik, yang selanjutnya akan berujung pada puas-tidaknya masyarakat menyalurkan zakat pada lembaga pengelola zakat, dalam hal ini LAZ.
- Memiliki Program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat. Pada umumnya, program yang direncanakan mengarah pada tiga hal, yaitu: (1) program peningkatan kesadaran serta motivasi muzakki untuk menunaikan zakat; (2) program yang ditujukan bagi peningkatan kualitas amil; (3) program yang ditujukan bagi peningkatan kualitas pendayagunaan zakat untuk mustahik (kelompok penerima zakat)
- Bersedia diaudit syariah dan keuangan secara berkala. Hal ini dimasudkan agar pengumpulan, pendistribusian, maupun pendayagunaan zakat benar-benar memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan penerapan prinsip syariat Islam dalam sistem dan manajemen lembaga pengelolaan zakat akan lebih terjaga.
Pada akhirnya kita harus mengapresiasi segala usaha yang telah dilakukan Negara terkait optimalisasi pengelolaan dana zakat guna pengentasan kemiskinan dan perbaikan tingkat kesejateraan umat.
Kalaupun kemudian masih banyak diantara kita yang menunaikan zakatnya secara langsung kepada yang membutuhkan (direct zakat system) bukan melalui lembaga zakat yang dibentuk pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, hal itu pun tidak bertentangan dengan syariat agama dan peraturan negara. Hanya saja, jika kenyataan tersebut dibiarkan terus menerus terjadi, visi dan misi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan umat dipastikan akan sulit tercapai.
Supandi Rahman
Akademisi FEBI IAIN Sultan Amai Gorontalo
-
Regional3 hari ago
Jawaban Orang Tua Viecri soal Laporan Polisi Sopir Truk
-
Regional2 hari ago
Proyek Jalan GORR Pakai Material Timbunan Ilegal? Pengawas: Tanya Bos!
-
Nasional5 jam ago
Jokowi Dianggap Aneh Tak Tegur KSP Moeldoko yang Gugat SK Menkumham
-
Regional3 hari ago
Sopir Truk di Gorontalo Lapor Polisi Usai Dianiaya 2 Pejabat
-
Nasional3 hari ago
MK Alami Degradasi Moral Sejak Anwar Usman Jadi Adik Ipar Jokowi
-
Megapolitan3 hari ago
Kongres MAPKB Diharapkan Jadi Momentum untuk ‘Merefresh Ulang’ Keluarga Besar Betawi
-
Nasional3 hari ago
Mega Minta Ganjar Tak Sungkan Akui ‘Petugas Partai’
-
Regional2 hari ago
Jayusdi Rifai Dampingi Bupati Serahkan Bantuan Beras di Limboto