Kronologi, Gorontalo – Penetapan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Gubernur Gorontalo Ruali Habibie dinilai sebagai langkah efektif memutus rantai penyebaran virus corona atau Covid-19 oleh banyak pihak.
Termasuk, penetapan Peraturan Gubernur (Pergub) Gorontalo No. 15 Tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan PSBB di wilayah tersebut.
Namun, mantan Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo, Umar Karim menilai, Pergub yang disahkan pada 4 Mei itu termuat materi yang kontradiksi atau bertentangan dengan peraturan di atasnya, salah satunya Pasal 15 Pergub No.15 tahun 2020.
Umar menyebut, dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 dan UU No. 6 Tahun 2018 sebagai rujukan pembentukan Pergub telah diatur bahwa semua kegiatan dibatasi dalam rangka memutus rantai penyebaran virus corona, kecuali untuk layanan kesehatan.
Karena, menurut Umar, menjadi aneh bila Pergub tentang PSBB yang dikeluarkan dalam rangka menangani permasalahan kesehatan justru malah membatasi layanan kesehatan.
“Seharusnya layanan kesehatan lah yang harus ditingkatkan, bukan sebaliknya malah dibatasi. Mekipun pada ayat (4) dalam pasal 15 tersebut terdapat ketentuan pengecualian jika dalam kondisi mendesak yang membutuhkan penanganan yang sifatnya emergency di waktu selain pukul 06.00 sampai dengan 17.00. Ini juga masih dapat menciptakan kerancuan,” kata Umar, Selasa (5/5/2020).
Dia menjelaskan, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 47 Tahun 2016 tentang Fasiltas Kesehatan, apotek merupakan adalah jenis usaha yang melaksanakan layanan kesehatan.
Namun sebagaimana tertera di pasal 15 yang membatasi layanan kesehatan seperti pelayanan lainnya, secara tidak langsung menjadikan apotek secara tidak langsung termasuk dalam fasilitas kesehatan yang dibatasi.
“Nah, bagaimana tata cara apotek melakukan layanan kesehatan ketika emergency? Kan orang sakit tidak harus ke apotek membeli obat, jika yang membeli obat bukan orang sakit, bagaimana pihak apotek akan mengetahui bahwa obat itu dibutuhkan untuk emergency?” tanya Umar.
“Bagaimana pula apotek akan mulai membuka layanannya jika sebelumnya apotek tidak melayani yang emergency. Jadinya apotek tutup terus sehingga sekalipun yang datang dalam keadaan emergency, apotik yang didatanginya sementara tutup karena sebelumnya tidak ada emergency sebagai alasan untuk membuka layanan,” sambungnya.
Selain itu, kata Umar, ketentuan larangan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan di tempat atau fasilitas umum yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) juga bertentangan dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020.
Dijelaskan Umar, dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 tidak terdapat satu pun ketentuan yang mengatur larangan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Permenkes, menurutnya, hanya mengatur pembatasan dan melarang kerumununan.
Untuk itu, kata dia, materi Pergub Pasal 13 ayat (1) tersebut tidak relevan dan tidak sejalan dengan Permenkes.
“Khusus untuk Jakarta misalnya, dalam pergub tidak terdapat ketentuan larangan melakukan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, yang ada makna larangan berkerumun itu dijelaskan secara detail, yakni larangan melakukan kegiatan dengan jumlah lebih dari lima orang sehingga menjadikan kata berkerumun pengertiannya menjadi jelas dan rijid,” ungkap dia.
Tak hanya pasal 15 dan pasal 13, Umar juga menyoroti Pasal 5 Ayat (5) terkait pengaturan pembatasan pergerakan orang masuk di wilayah Provinsi Gorontalo yang diberlakukan bagi semua orang dan moda transportasi. Menurutnya, perlu mencantumkan ketentuan yang menjelaskan lebih rinci terkait hal tersebut.
“Karena frasa yang digunakan dalam ketentuan tersebut adalah “semua orang” dan “semua moda transportasi”, berarti yang dibatasi masuk ke Gorontalo adalah semua orang dan semua moda transportasi tanpa terkecuali, ini sudah mirip karantina wilayah. Kalau hanya menyebut orang atau moda transportasi tertentu dapat dimaknai tidak semua orang dan tidak semua moda transportasi dapat masuk ke wilayah Gorontalo,” jelas Umar.
Pria berlatar belakang aktivis LSM ini juga menyinggung soal perbaikan penulisan seperti maksud dari huruf D dalam Pasal 15 ayat (3) yang masih kurang jelas. Demikian halnya dengan penulisan huruf K/L/D dalam Pasal 21 Ayat (1) Huruf F.
Menurut Umar, adanya potensi pertentangan beberapa materi pergub dengan peraturan di atasnya dapat mengurangi kewibawaan penegakan pergub yang membuat aparat hukum kebingungan dalam penerapannya.
Untuk itu, dirinya menyarankan agar materi Pergub tersebut direvisi. Apalagi, kemungkinan penerapannya tidak hanya selama 14 hari karena bisa saja mengalami penambahan yang melampaui waktu tersebut.
Meski begitu, Umar menganggap wajar adanya kekeliruan di tengah masa darurat kesehatan seperti saat ini, termasuk dalam penulisan.
“Sebagai warga masyarakat, apapun pendapat saya terhadap Pergub tersebut, saya tetap manaatinya karena Pergub tersebut mengikat setelah diundangkan. Dapat pula dimaklumi di situasi serba darurat dan terburu-buru seperti sekarang, hasil seperti itu dapat dimaklumi,” ungkap Umar.
“Koreksi ini saya harap jangan sampai mengurangi semangat kita dalam menangani pandemi Covid-19. Semoga kita bisa melawan Covid-19,” tandasnya.
Penulis: Atho Editor : Zul
Discussion about this post